Kamis, 29 Desember 2011

Sekilas tentang Ragam Bahasa


A.   Pendahuluan
Secara umum sosiolinguistik membahas hubungan bahasa dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sosiolingistik dikaji tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan ragam pengunaan bahasa. Identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta variasi dan ragam linguistik yang digunakan merupakan sebuah dimensi yang saling mempengaruhi dalam kajian sosiolinguistik. Ditegaskan oleh Platt dalam (Siregar dkk 1998:54)  bahwa dimensi identitas sosial merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup kesukaran, umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan  dan latar sosial ekonomi.
Ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. (Chaer, 2004:5).
Identitas sosial dari penutur dapat diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan lawan  tuturnya. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi dapat berupa ruang keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di acara pengajian, di perkuliahan, atau di pasar. Identitas sosial, dan lingkungan sosial terjadinya peristiwa tutur sangatlah heterogen, hal ini mempengaruhi variasi dan ragam bahasa yang digunakan. Ketepatan dan kesesuaian pilihan variasi dan ragam bahasa berpengaruh terhadap penilaian sosial penutur dan implikasinya akan bentuk-bentuk ujaran. Disinilah tampak bahwa alat komunikasi manusia yang disebut bahasa itu, menjadi sangat beragam yang memiliki fungsi sosialnya masing- masing.

B.   Bahasa dan Fungsinya
 Banyak ilmuwan berbicara dan mendefinisikan bahasa. Ini bisa dimengerti karena sejak jaman Yunani Latin, dengan tokoh terkenal Aristoteles, orang sudah membicarakannya. Tetapi lebih banyak lagi orang tidak memperhatikan apa bahasa itu, karena bahasa sudah padu dengan kita, seperti halnya kita juga tak pernah memperhatikan nafas kita sendiri.
Pandangan muncul dari linguistik struktural  dengan tokoh Bloomfield bahwa bahasa  adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan suatu sistem, bahasa itu mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk struktur tertentu. Bunyi-bunyi tiu merupakan lambang, yaitu yang melambangkanmakna yang tersembunyi dibalik bunyi itu. Pengertian sederetan bunyi itu melambangkan suatu makna bergantung pada kesepakatan atau konvensi anggota masyarakat pemakainya. Kesepakatan dan konfensi inilah yang menyebabkan bahasa mememiliki beragam fungsi di samping fungsi utamanya sebagai alat komunikasi
Bahasa sebagai alat komunikasi dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
Bahasa juga berfungsi sebagai perwujudan tingkah laku sosial individu (social behavior) dalam masyarakat. Bahasa sebagai milik masyarakat tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa. Dengan bahasa setiap individu dapat mengekspresikan diri dengan individu lain dalam masyarakat. Baik disadari maupun tidak disadari, tingkah laku bahasa individu ini dapat berpengaruh terhadap anggota masyarakat bahasa itu sendiri maupun bahasa lain.
Bahasa memiliki fungsi lain yaitu bahasa dianggap sebagai identitas penutur, baik secara individual maupun secara kelompok.  Anda boleh saja menyebut diri anda dengan mengatakan , “Saya orang Buton” atau “Saya orang Jawa”, tetapi kalau anda tidak bisa berbahasa Buton atau Jawa, pengakuan anda masih diragukan. Pemilihan penggunaan ragam daerah atau yang biasa disebut “dialek” dari suatu bahasa yang sama yang digunakan suatu kelompok masyarakat, juga menjadi identitas khas penutur mengacu pada suatu daerah asal. Misalnya, dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ‘lingua franca” bila kita mendengar ujaran-ujaran kalimat bahasa Indonesia yang mendapat bentuk penegasan “mi”, “di”, “ki”, kita dapat segera menebak bahwa penutur berasal dari Kendari atau Makasar, atau bila kita mendengar tuturan bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat bentukan ‘katong”, “torang”, “ngana”, referensi kita segera mengacu bahwa si penutur dari Manado atau memiliki keterkaitan identitas dengan tempat itu. Penggunaan bahasa “slank” dengan jargon-jargon yang hanya dimengerti anggota kelompok juga menjadi identitas penutur. Penggunaan ragam-ragam bahasa yang lain yang digunakan penutur juga dapat memperlihatkan identitas tingkat sosial, pendidikan, atau profesi kesehariannya.
Bahasa mengemban pula fungsi sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa dianggap sebagai “cermin zamannya”. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Bahasa sebagai hasil budaya, juga mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.

  C.   Ragam Bahasa

Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan pun beragam. Keragaman  bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks  sosialnya dan kebutuhannya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah linguistik, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah nonlinguistik, yaitu aspek-aspek sosial yang beraneka ragam yang menyertainya.
Kridalaksana (2006:142) menegaskan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaanya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pengungkapan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut penggunaannya, yang timbul menurut situasi dan fungsi sosial yang memungkinkan adanya variasi tersebut.  Pateda (dalam Chaer 1988: 52) menjelaskan bahwa  ragam bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi.
Ragam bahasa dapat dikenali dari golongan penutur bahasa dan  menurur jenis pemakaiaannya (Alwi,dkk., 2003:3). Dari sudut penutur dapat dirinci menurut (1) asal daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.        Ragam bahasa ditinjau dari asal daerah penutur.
Ragam bahasa ditinjau dari asal daerah penutur dikenal dengan logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurang oleh penutur dialek yang berdampingan (Alwi,dkk., 2003:3). Banyak pengguna bahasa yang beranggapan bahwa suatu “ dialek’ adalah suatu bahasa tersendiri. Namun, dalam kenyataannya dialek hanyalah sebuah ragam daerah dari suatu bahasa. Hal ini dipertegas oleh Soemarsono (2007:24) yang menjelaskan tentang ciri homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsur-unsur bahasa tertentu. Apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, ataukah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa; Kalau persamaannya bisa mencapai 40% - 60%, keduanya adalah dua dialek; dan kalau mencapai 90%, jelas keduanya hanya dua variasi dari sebuah bahasa
2.     Ragam bahasa menurut pendidikan penutur
Ragam bahasa menurut pendidikan penutur, menunjukkan perbedaan yang jelas antara penutur yang berpendidikan formal dengan yang tidak berpendidikan. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
contoh:
Ira mau nulis surat
~ Ira mau menulis surat
Saya akan ceritakan soal Kancil
 ~ Saya akan menceritakan tentang Kancil.
3.     Ragam bahasa menurut sikap penutur
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Ragam ini disebut juga langgam atau gaya. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Ragam bahasa juga dapat dibedakan menurut jenis pemakaiannya. Berdasarkan penggunaannya ragam bahasa  dapat dirinci menjadi tiga macam, yaitu (1) ragam dari sudut bidang atau pokok persoalan, (2) ragam menurut sarananya, (3) dan ragam yang mengalami campuran. Ketiga rincian tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1.     Ragam dari sudut bidang atau pokok persoalan
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran; improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni; pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan, peregangan, wasit digunakan dalam lingkungan olah raga.
Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam ragam sastra, kalimat-kalimat dalam ragam ilmiah, kalimat-kalimat dalam ragam jurnalistik, dll. Seperti contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang berikut ini.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
1.   Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus jutarupiah).
2.   Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual pada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

2.     Ragam menurut sarananya
Ragam bahasa menurut medium atau sarana dapat dibedakan atas ragam  bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.
a.   Ragam bahasa lisan
         Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan
       b. Ragam bahasa tulis
                   Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya.Dalam ragam bahasa tulis bahasa yang kita gunakan perlu lebih terang, jelas, dan lebih eksplisit karena bahasa tulis tidak disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan. Itulah sebabnya bahasa tulis harus lebih cermat.  Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan pilihan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti fungsi gramatikal, bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
      Contoh :
    Ragam bahasa lisan                                       Ragam bahasa tulis
1. Putri bilang kita harus pulang               1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang
2. Ayah lagi baca koran                            2. Ayah sedang membaca koran
3. Saya tinggal di Bogor                            3. Saya bertempat tinggal di Bogor

3. Ragam yang mengalami campuran
Setiap penutur bahasa juga dapat memanfaatkan ragam lisan dan ragam tulisan secara bersamaan. Misalnya, dalam mempresentasikan sesuatu, seseorang selain menggunakan ragam tulis, biasanya didukung dengan ragam tulisan yang memuat fakta-fakta informasi secara detail. Penyajian informasi dalam bentuk tabel, bagan, grafik untuk memperjelas, merupakan salah satu bentuk ragam yang mengalami campuran.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat   dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan konteks,  situasi dan kebutuhannya.

D.   DIALEK SOSIAL

Penggunaan bahasa juga tidak terpisahkan dengan keberadaan dan status penuturnya sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial. Orang-orang sering mengunakan suatu bahasa untuk menandai keanggotaannya pada kelompok-kelompok khusus. Status sosial, gender,usia,etnisitas, dan jenis-jenis jejaring sosial yang dimiliki para penutur bahasa merupakan dimensi penting identitas di banyak masyarakat.
Semua kelompok sosial itu mempunyai potensi untuk mempunyai “bahasa” dengan ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Jika potensi tersebut terjadi, maka inilah  yang disebut dengan “dialek sosial (social dialect). Dialek sosial adalah ragam bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok sosial dalam masyarakat.
Dengan kata lain, suatu dialek terjadi bukan hanya karena faktor-faktor regional kedaerahan atau faktor-faktor geografis tetapi suatu dialek memungkin pula terjadi karena faktor-faktor sosial dalam suatu kelompok. Rasa kebersamaan dalam identitas dan status kelompok mendorong munculnya dialek sosial.


E.   Ragam Baku, Ragam Non Baku, dan Ragam Umum

1.    Ragam Baku dan Ragan Nonbaku
Ragam baku adalah ragam standar yang memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan  berbagai jenis ragam yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 2003: 14). Secara keseluruhan ragam baku dalam sebuah bahasa hanya ada satu, selebihnya, termasuk dialek adalah ragam nonbaku. Dilihat dari sudut pandang kebahasaan, ada perbedaan antara ragam baku dan nonbaku, dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa kata dan tata kalimat. Dalam hal tata bunyi sudah jelas, ragam baku mempunyai aturan ejaan. Dalam bahasa Indonesia, ejaan baku adalah EYD, sehingga penulisan yang melanggar EYD adalah ejaan nonbaku, dank arena itu ragam tulisnya juga adalah nonbaku juga. Tentu saja ada hal-hal yang belum diatur oleh EYD , dalam hal demkian akan terjadi kebebasan dan persaingan antara dua bentuk.
          Ragam baku mempunyai ketentuan sendiri dalam hal lafal, meskipun belum secara tuntas diatur.Dalam KBBI yang memuat kata-kata baku, belum mengatur perihal lafal, hanya penggunaan e  saja yang sudah dipastikan, itupun hanya terbatas pada kata-kata yang penulisannya serupa, misalnya teras dan teras. Kata penyapa untuk orang kedua; kamu, engkau,saudara adalah baku, sedang situ tidak baku. Di bidang morfologi, bentuk kata kerja yang seharusnya memakai awalan ber- atau meN- secara konsisten harus dipakai, dan pembuangan awalan-awalan itu akan menyebabkan bentuk tidak baku. Dalam hal tata kalimat, bentuk saya sudah mengatakan atau sudah saya katakan adalah bentuk baku, sedangkan saya sudah katakan adalah bentuk nonbaku.
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis (RBT) dan (2) ragam bahasa baku lisan(RBL). Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.
            Sebagai contoh pembanding antara RBT dan RBL, dapat dilihat pada kata-kata logika, logis, dan sosiologi adalah baku dalam RBT. Dalam lafal RBL yang tampak baku adalah  [lokhika], [lokhis], dan [sosiolokhi], sedangkan lafal [ logika],  [logis] dan [sosiologi] dianggap kurang baku. Dalam RBT kata bank adalah baku, sementara dalam RBL yang baku adalah lafal seperti bang. Kadang-kadang RBT dan RBL mengakui dua bentuk yang sama- sama baku, misalnya mengecek dan mencek. Tetapi yang banyak adalah variasi dalam RBL. Misalnya, penulisan merdeka[merdEka]; dalam RBL bisa menjadi [merdEka] atau [merdeka], menolak menjadi [menolak],[ menola?] atau [menOlak].
         Di sisi lain, kadang-kadang RBT mempunyai variasi bentuk, tetapi RBL hanya mempunyai satu. Misalnya, RBT mempunyai struktur seratus  rupiah atau Rp. 100,00 (rupiah seratus), sedangkan dalam RBL hanya yang pertama yang diakui.
         
2.    Ragam Umum
Di samping ragam baku dan nonbaku dikenal pula ragam umum. Masyarakat umum yang awam tentang bahasa atau ragam baku, adakalanya tidak banyak tahu kaidah ragam baku. Kaidah bahasa  mereka  berbeda dengan kaidah yang ditentukan oleh yang mempunyai wewenang (otoritas) untuk menentukan mana bentuk yang baku dan mana yang tidak baku. Mereka menggunakan bentuk-bentuk yang akrab dan sudah umum di lingkungannya. Bahasa yang sudah umum dan biasa dipakai oleh masyarakat luas karena tidak sesuai dengan kaidah dapat  dianggap tidak  baku oleh yang mempunyai otoritas, sebaliknya yang ditentukan baku jarang digunakan oleh masyarakat. Akibatnya di dalam bahasa itu selalu hidup dua bentukan. Misalnya bentuk- bentuk yang dibakukan adalah sistem dan analisis, tetap yang umum digunakan adalah sistim dan analisa. 
Dengan demikian, tidak berarti yang baku itu selalu dapat berlaku secara umum. Kata mangkus dan sangkil dibakukan untuk menggantikan efektif dan efesien tetapi kenyataannya kata itu hingga sekarang tetap belum umum. Menyikapi hal tersebut maka adakalanya bentuk-bentuk ragam umum yang berterima dan dipakai secara luas oleh masyarakat menjadi dasar untuk pembakuan.

Ciri-Ciri Ragam Baku
Ada beberapa  ciri yang dapat menandai ragam bahasa baku. Ciri yang pertama, bahwa ragam baku berasal dari dialek penutur asli (native speaker). Penutur bahasa baku lebih sedikit dari keseluruhan penutur bahasa. Bahkan untuk BI kita bisa mengatakan bahwa penutur asli BI baku saat ini hampir tidak ada, setidaknya sulit dicari. Ciri kedua, ragam baku merupakan ragam yang biasanya diajarkan kepada orang lain yang bukan penutur asli bahasa tersebut.  Ciri ketiga , ragam baku mampu memberi jaminan kepada pemakainya bahwa ujaran yang dipakai kelak dapat dipahami oleh masyarakat luas, lebih luas daripada jika dia memakai dialek regional. Ciri kempat, biasanya dipakai oleh kalangan terpelajar, kalangan cendekiawan dan ilmuwan, dan menjadi ragam bahasa ilmiah.               Kelima, bahasa baku itu pasti dan dipakai secara ajeg (konsisten). Ciri  kelima adanya kepastian dan keajegan itu tidak banyak dijumpai dalam dialek atau ragam nonbaku. Ciri ini kemudian didukung oleh adanya tata bahasa yang tertulis dan tradisi tulis menulis yang lain.
Ciri lain yang membedakan antara ragam baku dan tidak baku juga dapat dilihat dari:
penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
penggunaan kata tertentu,
penggunaan imbuhan,
penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
penggunaan fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam baku dan ragam non baku.  Dalam ragam baku, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu.
Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam baku kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Contoh :  ~ Ayah ngajak adik ke kota (TB)
                ~ Ayah mengajak adik ke kota (B)
             ~ Ia lihat kejadian itu (TB)
                 ~ Ia melihat kejadian itu (B)
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.

Contoh :    (1)  Ibu mengatakan, kita akan pergi besok
                (1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok
Contoh :     (2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.
      (2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk).
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam baku dan nonbaku . Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonbaku, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.” untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pembedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

F.    Diglosia dan Ragam Baku

Meskipun sudah dikatakan di dalam sebuah bahasa hanya ada sebuah ragam baku, ditemukan ada situasi unik dalam beberapa bahasa, yaitu ditemukannya dua ragam baku yang sama-sama dihormati dan diakui. Hanya saja fungsi dan pemakaiannya berbeda. Situasi semacam ini disebut diglosia. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Marcais dan menjadi terkenal karena dipakai oleh Ferguson (1959) ketika ia berbicara tentang bahasa Arab. Ia melihat adanya ragam bahasa Arab dalam Al Qur’an yang berbeda  bentuk dan fungsinya dengan ragam sehari-hari yang dipakai dalam percakapan. Menurut Ferguson diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus dimana dua ragam berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Ada ragam bahasa tinggi yang dibakukan (ditandai denga H =High) dan ragam bahasa rendah yang dibakukan (ditandai L=Low). Kedua ragam bahasa itu mendapat pengakuan secara terbuka dalam masyarakat.
          Ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa itu. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam khutbah, surat-surat resmi, pidato-pidato politik,kuliah, siaran berita, tajuk rencana dalam surat kabar, dan pada penulisan puisi bermutu tinggi. Sebaliknya, ragam bahasa rendah digunakan dalam percakapan sesama anggota keluarga, antara teman, cerita bersambung radio, sastra rakyat, dan film kartun. Ada kemungkinan, satu fungsi kebahasaan yang sama digunakan ragam yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Misalnya, untuk menulis surat pribadi, orang Yunani menggunakan ragam rendah, sedangkan orang Jerman dan Swiss menggunakan ragam tinggi. Kita dapat menjumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di  Indonesia, seperti bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura,dll., yang masing-masing mempunyai nama. Di Jawa dikenal ada bahasa ngoko (tingkat paling rendah),karma (tengah) dan karma inggil (tingkat tinggi). Di Bali kita kenal istilah sor (tingkat rendah) dan singgih (tingkat atas).
Situasi diglosia dapat dilihat di berbagai wilayah di Indonesia. Contoh, di sebuah kota besar, ada beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing, disamping bahasa Indonesia. Kita melihat fungsi bahasa daerah berbeda dengan fungsi bahasa Indonesia, dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, keresmian, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan(sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi dalam rapat; alat komunikasi antar pegawai, dan antara pegawai dengan tamu kantor), ranah keagamaan (dalam khotbah).
Permasalahan diglosia ini bisa dikembangkan kepada masalah-masalah lain yang juga akhir-akhir ini menjadi kajian sosiolinguistik. Misalnya muncul masalah pilihan bahasa (language choise), pergeseran bahasa (language shift), pemertahanan bahasa (language maintenance), kemunduran bahasa (language decline) dan kepunahan bahasa (language death). Dalam situasi seperti di kota besar, orang harus tahu memilih ragam bahasa apa yang cocok untuk ranah atau situasi tertentu. Kalau masyarakat dalam berbagai ranah lebih menyukai untuk memakai bahasa X secara terus- menerus misalnya, maka bahasa bahasa- bahasa lain (misalnya bahasa Y dan Z) menjadi tergeser , mundur,dan kemudian punah, sebaliknya X bertahan. Kemudian ada usaha untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali bahasa Y dan Z.      

G.   Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat disimpullkan bahwa bahsa selain fungsinya utama sebagai alat komunikasi memiliki fungsi-fungsi lain terkait dengan fungsi sosial . Bahasa merupakan perwujudan perilaku individu dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa juga menjadi identitas dari suatu kelompok masyarakat. Dampak dari hal tersebut adalah adanya ragam-ragam bahasa di masyarakat.
Diglosia adalah adanya dua ragam berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Ada ragam bahasa tinggi yang dibakukan (ditandai denga H =High) dan ragam bahasa rendah yang dibakukan (ditandai L=Low). Kedua ragam bahasa itu mendapat pengakuan secara terbuka dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Chaer, Abdul. 1988. Tata Bahasa Praktis. Bhratara. Jakarta
Dadan Wahidin. 2009. RAGAM DAN LARAS BAHASA. http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/11/ragam-dan-laras-bahasa/. Di akses pada tanggal 15 Oktober 2011.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics :Learning about Language   - 2nd ed. Pearson Education Limited. England.
Soemarsono. 2007. Sosiolingiostik.  Pustaka pelajar. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar