Kamis, 29 Desember 2011

PENGGUNAAN ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM MASYARAKAT MULTILINGUAL


Oleh :Siti Rosdiana Jatmiko

A.Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Di era globalisasi saat ini, ketika hubungan dan pergaulan antar suku bangsa semakin luas terbuka, sangatlah sulit menemukan kelompok-kelompok masyarakat yang di dalamnya hanya memiliki atau hidup satu bahasa saja. Berbagai interaksi yang terjadi antar individu dalam kelompok maupun kelompok lain menyebabkan hidup berkembangnya kemultibahsaan dalam suatu masyarakat. Sebagai akibat penggunaan dua bahasa dan juga pertemuan  dua budaya atau lebih, seorang penutur tentu tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah percampuran yang dilakukan (secara secara sadar maupun tidak)  dua sistem bahasa yang dipakai. Dalam keadaan tersebut, ada kalanya seorang penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat berbahasa X memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si C.
Kondisi di atas merupakan kondisi berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Penggunaan alih kode dan campur kode menjadi  salah satu kajian Sosiolinguistik
B.  Pengertian Alih Kode dan Campur Kode
1. Alih Kode
            Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah.  Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan  masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Nababan (1991: 31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya. Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode. Holmes (2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan  peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

2. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Kridalaksana (1982; 32) memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Nababan (1989:32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode. Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik (Holmes, 2001:42).
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).
3. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi pada masing-masing bahasa yang digunakan dan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu. Campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Jika dalam alih kode digunakan dua bahasa otonom secara bergantian maka dalam campur kode sebuah unsur bahasa lain hanya menyisip atau disisipkan pada sebuah bahasa yang menjadi kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan atau dalam sebuah ceramah agama, pembicara menyisipkan unsur-unsur bahasa Arab yang memang tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia.
 Dengan kata lain, dalam campur kode, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional. Sedangkan alih kode lebih banyak berkaitan dengan aspek situasional.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif.  Hymes mengemukakan 16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam bahasa Inggris yaitu SPEAKING
S    = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P    = Partisipan, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima.
E    = End  (tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A   = Act Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K   = Key ( kunci)
I     = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.
N   = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G   = Gendre (Sumarsono, 2007: 335)

Berdasarkan pendapat Hymes tersebut maka dapat dikaji bahwa alih kode dan campur kode terjadi karena faktor-faktor berikut.
a.       Penutur dan Pribadi Penutur
Dalam suatu peristiwa tutur, penutur kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara tak jarang pula melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau karena rasa ingin menonjolkan identitasnya.
b. Mitra Tutur
    Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Misalnya seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan melakukan campur kode yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati.
c.  Hadirnya Penutur Ketiga
    Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Dalam situasi ini, kadang alih kode juga digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak ingin dimengerti  oleh penutur ketiga.
d. Tempat Tinggal dan Waktu tuturan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah pasar, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Seorang penjual di sebuah pasar yang multilingual ketika dia berbicara dengan pembeli yang memliiki etnik akan cenderung menggunakan bahasa daerah  yang sama dalam transaksinya tetapi ketika hadir pembeli lain dia pun akan cepat beralih kode ke dalam bahasa yang lain dan kadang juga tanpa disadari melakukan campur kode antara bahasa pertama dan bahasa kedua yang digunakannya
e. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
f. Topik/ Pokok Pembicaraan
    Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Sebaliknya dalam topik pembicaraan yang formal dan ilmiah kerap terjadi campur kode ketika seorang pembicara tidak menemukan ungkapan atau padanan yang mampu mewakili gagasan dalam bahasa pengantarnya atau campur kode sengaja kerap dilakukan saat pembicara ingin menonjolkan pribadinya.

D. Fungsi dan Tujuan Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode
Fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur  didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi komunikasi. Dalam kegiatan  komunikasi pada masyarakat multilingual alih kode dan campur kode  pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan-tujuan  berikut.
a.   Mengakrabkan suasana
Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang lain di suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang sama maka keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya. Seperti contoh petikan dialog berikut.
        Penutur I         : “Sudah lama di Jakarta, Pak?”
      Penutur II         : “Lama juga, dari sejak kuliah.”
        Penutur I         : “Dulu SMAnya memang di mana?”
        Penutur II        : “Di Bone.”
        Penutur I         : “Si kampong ki tu’
        Penutur II        : “Tega ki monro komai?”
        Penutur I         : “Ko ka di Jatinegara mabbola.”
      ….
Kegiatan campur kode untuk tujuan lebih mengakrabkan suasana antara pembicara dan pendengar  juga dapat kita temukan pada kegiatan-kegiatan semi formal, misalnya dalam kegiatan ceramah agama. Seperti contoh berikut.
Penceramah            : “Bapak ibu para jamaah pengajian yang berbahagia, inkang kulo hormati, Gusti Alloh senantiasa membuka pintu tobat bagi hambanya yang mau bertaubat… segala amalan yang kita buat teng dunya niki…sewiji jarakpun akan dicatat oleh Gusti Alloh….”
                    ~ ingkang kulo  = yang saya
                    ~ teng dunya niki    = di dunia ini
                    ~ sewiji       = sebiji
           Dalam contoh di atas terlihat bahwa sang penceramah mengunakan campur kode bahasa Jawa kromo (halus) ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan membangun emosional keakraban dan kedekatan dengan jamaahnya.
b.   Menghormati lawan bicara
Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang lebih muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan bawahan,  alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan menghargai atau menghormati lawan bicara. Seperti contoh berikut:
        Bupati             : “Berapa anaknya pak ?”
        Warga              : “ Iye Inggomiu,  o omba ananggu .’ (Ada empat anakku, Pak)
       Bupati              : “Sekolah semua?”
Warga              : “Alhamdulliah, Inggomiu oruo mesikola ni SD, o aso mesikola ni SMP, o owose  laito ni SMA.” (Alhamdullah, Pak, dua sekolah di SD, satu di SMP, yang besar di SMA)
….
Dalam petikan dialog di atas, seorang warga yang ditanya oleh Bupati dengan bahasa Indonesia tetapi menjawabnya dengan bahasa Tolaki, bukan berarti si warga tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi karena tujuannya memberi rasa hormat maka yang bersangkutan menjawabnya dalam bahasa daerah.
c.    Meyakinkan topik pembicaraan
Kegiatan alih kode dan campur kode juga sering digunakan ketika seorang pembicara memberi penguatan untuk meyakinkan topik pembicaraannya. Seperti contoh berikut.
      Penceramah         : “… Jamaah yang dirahmati Allah, setiap manusia selalu diberi ujian oleh Allah, hanya dengan kesabaran kita dapat mengatasi segala ujian. Allah sangat menyukai orang-orang yang dapat menjaga kesabarannya, Innallaha ma’ashobirin….
 Do sabara kunsino kadadiha.  Do sabara bari-bari’e no ghoroe kapamuruha. Koise angkafi matamu sodumai daikho ….” (Allah  menyayangi orang yang sabar…Sabar adalah kunci kehidupan . Hanya dengan sikap sabar segala amarah dapat dipadamkan.  Jangan ikuti emosimu karena emosi dapat menghancurkan hidupmu).

Dalam contoh di atas topik penceramah adalah tentang kesabaran. Terjadi campur kode bahasa Arab dan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Muna dengan tujuan penceramah ingin memberi penguatan untuk lebih meyakinkan topik yang disampaikannya kepada para pendengarnya.

d.   Untuk membangkitkan rasa humor
Dalam kegiatan berbahasa  dalam situasi tertentu. Biasanya terjadi alih kode yang  dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara dengan tujuan membangkitkan rasa humor untuk memecahkan kekakuan. Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau anekdot-anekdot.
e.    Untuk sekadar bergaya atau bergengsi
        Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala seperti ini banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis selebriti. Biasanya mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta yang bercampur kode bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend setter yang kebarat-baratan. Seperti contoh-contoh berikut.
   (a) “Don’t Worry, nggak perlu ada yang dipermasalahkan, everything gonna be ok kho!”
   (b) ”Aku udah coba buat jalan bareng, tapi ngga ketemu chemestry-nya saat ini.”
   (c) “Buat sekarang timing-nya ngga pas, we’ll see nanti.”

E. Simpulan
            Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Alih kode terjadi untuk menyesuaikan diri dengan peran, atau adannya tujuan tertentu. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Campur kode dapat terjadi tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut adanya pencampuran bahasa, tetapi dapat juga disebabkan faktor kesantaian, kebiasaan atau tidak adanya padanan yang tepat.
            Dalam suatu peristiwa tutur, alih kode dan campur kode terjadi karena beberapa faktor yaitu (1) penutur dan pribadi penutur, (2) mitra penutur, (3) hadirnya penutur ketiga, (4) tempat dan waktu tuturan berlangsung, (5) modus pembicaraan, dan (6) topik pembicaraan. Alih kode dan campur kode memiliki fungsi terkait dengan tujuan berkomunikasi. Dalam kegiatan  komunikasi pada masyarakat multilingual, alih kode dan campur kode  pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan (1) mengakrabkan suasana, (2) menghormati lawan bicara, (3) meyakinkan topik pembicaraan, (4) menyajikan humor untuk menghibur, dan (5) menimbulkan gaya atau gengsi penutur.
Fungsi dan tujuan penggunaan alih kode dan campur kode yang dipaparkan di muka barulah sebagian. Sebuah penelitian/kajian sosiolinguistik yang lebih khusus, dapat memberikan gambaran lebih banyak tentang berbagai fungsi dan tujuan alih kode dan campur kode, serta berbagai implikatur lainnya yang terkandung dalam sebuah peristiwa tutur.

 DAFTAR RUJUKAN
 Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.
 Holmes, Janet, 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh. Person Education Limited
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Baandung : Angkasa
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta:  Gramedia.
Sumarsono dan Paina Pariana, 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

7 komentar:

  1. Alhamdulillah sangat bermanfa'at,,,,,,, :-)

    BalasHapus
  2. Matur suwun... Artikel ini sangat membantu....

    BalasHapus
  3. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus
  4. trims mas sangat membantu, kalo boleh tau itu fungsi alih kode berdasarkan teori siapa ya?

    BalasHapus
  5. trims mas sangat membantu, kalo boleh tau itu fungsi alih kode berdasarkan teori siapa ya?

    BalasHapus
  6. Saya mau bertanya tujuan campur kode ini teori menurut siapa, tolong diberikan sumber bukunya🙏

    BalasHapus