Sabtu, 03 Desember 2011

24 Atau 37,5 jam (Menyoal Beban Kerja Guru PNS)

 
Masih dalam rangka memperingati hari guru, banyak hal yang perlu direfleksi terkait dengan keberadaan guru di republik ini.  Salah satunya adalah mengenai jumlah beban kerja guru dalam kapasitasnya sebagai tenaga profesional dan PNS. Hal ini penting karena beban kerja guru selain berkaitan dengan kelayakan  untuk menerima tunjangan profesi, berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kedisiplinan guru (guru PNS) sebagai aparatur pemerintah yang memberikan layanan fungsional kepada publik.
            Seorang teman guru yang ditempatkan di sebuah SMP baru, datang mengeluh kepada saya karena tunjangan profesinya tidak dapat dibayarkan. Pengelola sertifikasi di dinas pendidikan kabupaten tidak dapat membayarkan tunjangan profesinya dengan alasan tugas jam mengajarnya di muka kelas tidak mencukupi 24 jam. Teman saya tersebut adalah guru mata pelajaran Pendididikan Kewarnegaraan (PKn), jumlah jam wajib untuk PKn di SMP sesuai beban kurikulum hanya 2 jam/minggu/kelas. Di sekolah itu baru memiliki 3 kelas rombongan belajar. Artinya, teman saya tersebut hanya dapat mengajar bidang studi spesialisasinya hanya 6 jam pelajaran. Selain tugas mengajar, dia juga mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah, tetapi tetap saja secara administrasi beban kerja sebagai guru profesional nilainya belum cukup. Berdasarkan PP 74 Tahun 2008 tentang Guru dijelaskan bahwa tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah hanya dihargai 12 jam.
            Padahal sebagai guru PNS yang ditempatkan di unit sekolah baru (USB) dengan jumlah tenaga guru dan pegawai yang masih kurang, teman saya harus membantu kepala sekolah  melaksanakan berbagai tugas lainnya di sekolah, selain tugas pokoknya mengajar. Setiap harinya, dia sudah harus hadir pukul 7.00 pagi dan setelah bel pulang pukul 13.20, dia belum meninggalkan sekolah karena masih harus menyelesaikan tugas-tugas administrasi lainnya. Dilihat dari kehadiran, komitmen dan tanggung jawabnya sebagai guru PNS maka teman saya ini tidak diragukan lagi
Berbeda ceritanya dengan seorang ibu guru SD, teman saya yang lain. Dia dapat tersenyum senang karena dapat menikmati tunjangan profesinya tanpa masalah. Ibu guru ini mengajar kelas II di salah satu SD. Beban kerja/ jam mengajarnya tidak bermasalah. Secara administrasi, sebagai guru kelas, sesuai struktur kurikulum dia mendapat alokasi waktu pembagian tugas 27 jam/minggu. Sebagai guru kelas II, si Ibu guru tiap harinya baru datang di sekolah pukul 9.00 karena seperti di banyak SD lainnya kelas II di sekolahnya masuk pukul 10.00 setelah siswa kelas I pulang. Saat bel pulang pukul 12.30, si Ibu guru yang juga ibu rumah tangga pun bergegas pulang. Jadi bila dihitung kehadirannya di sekolah per hari hanya 2,5 jam. Bandingkan dengan teman guru yang diceritakan di awal.
            Dua ilustrasi di atas hanyalah sekelumit cerita dari banyaknya persoalan yang terjadi di lapangan terkait persoalan beban kerja guru.
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat (2) ditegaskan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Aturan tersebut kemudian dijabarkan dalam  Peraturan Pemerintah  Nomor 74/2008 tentang Guru,  dalam Pasal 52, ayat (2)  dinyatakan bahwa beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pada ayat (3) dikemukakan bahwa pemenuhan beban kerja paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empatpuluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satuan pendidikan tempat tugasnya sebagai Guru Tetap.
Pemaknaan dari peraturan di atas adalah ketika seorang guru tidak cukup jam tatap muka di satuan pangkal pendidikannnya (sekolah induknya) maka dengan persetujuan dinas pendidikan kabupaten/kota yang bersangkutan dapat mengajar di sekolah lain untuk mencukupi jam wajibnya. Namun persoalannya tidak semudah itu, kondisi di lapangan yang terjadi adalah di banyak sekolah (utamanya di wilayah perkotaan) tidak dapat menerima guru mata pelajaran tertentu dari sekolah lain mengingat jam mengajar guru yang ada di sekolah itu pun tidak cukup atau “dicukup-cukupkan”. Pola “pencukup-cukupan” pun dilakukan dengan memberi tugas mengajar mata pelajaran lain (biasanya pelajaran serumpun, Muatan lokal atau Keterampilan) atau dengan memberi tugas tambahan sebagai pengelola perpustakaan, laboratorium, atau bengkel praktik.
Persoalan lebih rumit pun dihadapi dalam pembagian tugas jam kerja bagi guru yang diangkat dalam jabatan pengawas. Pengangkatan pengawas sekolah di beberapa daerah yang tidak didasarkan pada analisis kebutuhan menyebabkan ketidak-jelasan pembagian tugas pengawasan.
Di sisi lain, banyak guru yang memaknai ketika jam tatap muka telah mencukupi minimal 24 jam tatap muka/ jam mengajar seakan-akan yang bersangkutan telah terlepas dari tugas-tugas pokok lainnya di sekolah. Dampaknya, yang bersangkutan hadir di sekolah hanya apabila ada jam mengajarnya. Datang sebelum jam pelajaran dan pulang setelah jam pelajarannya berakhir, contohnya seperti kasus ibu guru di atas. Bahkan ketika dalam satu hari efektif tidak ada jam mengajarnya maka ada kecenderungan guru untuk tidak datang di sekolah. Hal ini dianggap sebagai “tambahan libur” atau kebijakan dari kepala sekolah.
Persepsi yang salah tersebut harus diluruskan, karena dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah  Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru  Pasal 52 ayat (2) dinyatakan bahwa istilah tatap muka berlaku untuk pelaksanaan beban kerja guru yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran. Beban kerja guru untuk melaksanakan pembelajaran paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sejalan dengan hal tersebut, terkait dengan Standard Pelayanan Minimal bidang pendidikan,  dalam Permendiknas RI nomor 15  Tahun 2005 tentang Standard Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota dalam pasal 2  ayat (2) point b.butir 5 dinyatakan bahwa salah satu bentuk pelayanaan minimal di tingkat satuan pendidikan adalah “ setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan”.
Bila dirata-ratakan 37, 5 jam /minggu dibagi 6 hari kerja maka dalam setiap hari sekitar 6,5 jam kerja yang harus terpenuhi. Sehingga apabila seorang guru hadir setiap harinya di sekolah pukul 07.00 maka paling cepat pukul 13.00 dia baru dapat pulang. Apabila kehadiran guru di sekolah hanya berdasarkan jadwal mengajar atau sekedar memenuhi 24 jam mengajar jelas standar minimal tersebut tidak tercapai.  Di jenjang SD, 1 jam pelajaran = 35 menit, di SMP 1 jam pelajaran = 40 menit, dan di SMA 1 jam pelajaran = 45 menit.
Jika dikonversi maka 24 jam pelajaran/minggu di SD hanya setara dengan 14 jam kerja/minggu (24 x 35 : 60) atau kalau dirata-ratakan hanya 2, 3 jam/hari kerja. Sedangkan di SMP untuk 24 jam/minggu hanya setara 16 jam kerja. Dengan demikian, apabila seorang guru hanya hadir dengan orientasi memenuhi jam mengajar minimalnya maka Standar Pelayanan Minimal, yang sebagaimana diharapkan dalam Permendiknas RI nomor 15 /2005 tidak dapat terpenuhi.
Secara tegas tentang kedisiplinan kehadiran PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Dalam Pasal 3 angka 11 PP tersebut dinyatakan PNS wajib “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja”. Penjelasan PP no 53 tahun 2010 pasal 3 angka 11 adalah yang dimaksud dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” adalah setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Keterlambatan masuk kerja dan/atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 ½ (tujuh setengah) jam sama dengan 1 (satu) hari tidak masuk kerja. Dengan sanksi teringan bila tidak hadir 5 hari kerja diberi teguran lisan dan sanksi terberat tidak masuk > 45 hari diberhentikan dengan tidak hormat.
Dari uraian di atas, secara sederhana dapatlah dinyatakan bahwa ketika seorang guru telah menerima tunjangan sertifikasi dan memenuhi jam tatap muka minimalnya 24 jam tidak lantas berarti guru tersebut terbebas dari tanggung jawab dan tugas-tugas lainnya di sekolah. Selain menerima tunjangan profesi yang bersangkutan juga menerima gaji haknya sebagai PNS sesuai golongan dan kepangkatannya seperti pegawai-pegawai negeri sipil di instansi lain, sehingga guru PNS juga terikat dengan kewajiban kehadiran di tempat tugas dan aturan-aturan disiplin kepegawaian lainnnya yang berlaku. Sekalipun kebijakan ‘kehadiran” dan  pemberian “libur tidak resmi” bagi guru PNS di tingkat satuan pendidikan menjadi “aturan tidak tertulis” dan kewenangan kepala sekolah.
Tulisan ini hanya ingin sekadar mengingat dan merefleksi kembali apa yang seharus menjadi tugas dan tanggung jawab teman-teman guru di lapangan. Persoalan tugas dan tanggung jawab bukan hanya sekedar menggugurkan jam wajib tatap muka/mengajar di muka kelas untuk mendapatkan tunjangan profesi. Ada tanggung jawab profesi dan tanggung jawab moral yang lebih besar.
Di sisi lain, pihak dinas pendidikan kabupaten selaku pengelola sertifikasi di daerah pun  perlu melakukan monitoring dan objektif terkait dengan pemberian tunjangan profesi. Kelayakan tidak sekedar cukup-tidak cukup 24 jam, dinilai secara administratif di atas meja berdasarkan Surat Keputusan Pembagian Beban Kerja yang dibuat oleh kepala sekolah. Perlu pemberdayaan para pengawas sekolah untuk melakukan verifikasi di lapangan. Sehingga kasus yang dikemukakan di awal tulisan ini tidak perlu terjadi.
Dengan momentum hari guru, saatnyalah para guru untuk kembali berbenah melihat dan memperbaiki visi dan paradigma. Tidak sekedar menjadi guru yang memenuhi tuntutan dan target ketuntasan kurikulum,  menjadi guru yang hanya menjadi media belajar buat siswa,  atau guru yang hadir ke sekolah untuk sekedar menggugurkan kewajiban jam mengajar. Saatnya untuk berubah menjadi guru inspiratif. Guru yang kehadiran mampu memberi semangat, warna dan makna bagi siswa, bagi sesama rekan kerja, dan bagi lingkungannya. Guru adalah bak pelita penerang dalam gulita …engkau  laksana embun penyejuk dalam kehausan. Semua itu hanya dapat terasa dan terwujud jika didasari dengan kesadaran moral,  komintmen dan tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik***

15 komentar:

  1. IKHLAS WAE LAH..YEN ITUNG-ITUNGAN DADI GURU GAK KETEMU...MAS JAT..KOYONE YEN SEMPURNA BUANGET KOWI JELAS...SEKOLAH BAKAL HUAPIK...SLAMAT BERJUANG...

    BalasHapus
  2. Ikutilah ke mana air mengalir, mudah-mudahan di hilir kita temukan keberkahan. Memang susah dan berat merubah kebiasaan, tapi kita harus yakin seberat apapun kalau udah kita biasakan enjoi aja kita bekerja walau harus pulang lebih siang/sore. Selamat berjuang demi mencerdaskan anak bangsa.

    BalasHapus
  3. Ada tunjangan sertifikasi alhamdulilah kita wajib bersyukur, terkait tugas yang diemban mari kita laksanakan dengan ikhlas, semoga Allah Swt memberikan balasan yg lebih baik lagi... jazakallah khoiron katsir...

    BalasHapus
  4. Hanya guru yg gila yg mampu secara terus menerus ngajar #sampai 40 jam. Peraturan apa ini...

    BalasHapus
  5. Hanya guru yg gila yg mampu secara terus menerus ngajar #sampai 40 jam. Peraturan apa ini...

    BalasHapus
  6. Kurikulum 2013 menghendaki agar siswa belajar dengan riang.
    Ada ngga "agar guru mengajar dg riang". Tidak sedikit guru2 yg harus menempuh jarak 30 km ketempat tugas, jalan becek, terus harus diteruskan lagi dg naik Kelotok (perahu motor kecil) 1 jam baru sampai. Guru strees..... Mereka cape, lelah bersangatan, motornya kadang mogok di jalan, kehujanan, kadang mereka sakit...
    Masya Allah. Guru hanya dapat tersenyum dalam kepura-puraan dan kepalsuan. Guru ndak sempat membuat skenario pembelajaran, guru nggak sempat memeriksa lembar kerja siswa. Sering kepala sekolah selalu menekankan kedisiplinan yg ketat kayak tentara saja.
    Sangsinya adalah sertifikasi guru tdk dibayar. Selalu saja ancamannya adalah sertifikasi tidak dibayar oleh pemerintah. Pemerintah hanya pandai membuat peraturan tapi mereka tidak pernah bersimpati bagaimana kondisi guru di lapangan.
    Tidak heran sering terjadi konflik dg kepala sekolah dan konflik fisik. Masya Allah... APAKAH DUNIA SUDAH GILA ATAU PERATURAN YG DIBIKIN AGAR GURU MENJADI ROBOT YG GILA...!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Guru itu menempati posisi paling istimewa di surga sepanjang guru dgn tulus ikhlas melaksanakan tugas mengajar dan mendidik.Kita ini jadi seperti ini karena guru kedua calon presiden dan wakil presiden kita ini maju kan karena dari guru.Selamat teman2 guru jangan terpropokasi dgn komen yg keliru.

      Hapus
  7. Ayo siapa yg berani balas dengan guru di kalimantan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. assalamu'alaikum maaf pak haji saya guru di kalimantan utara ikut komentar saya nikmati aturan itu karena itu baik dan lebih-lebih sekarang gaji tunjangan yang sangat tinggi dibandingka kerja saya jadi terus terang saya merasa lebih besar pemberian pemerintah dibanding kerja saya pak haji sekarang hitung saja sendiri gaji+tunjangan-tunjangan kalau dihitung per hari di atas 200 sampai 400 ribu mau kerja apa masihkah kurang kita ini ayo kita renungkan dengan hati yang jernih. sekali lagi mohon maaf jika salah komentar.

      Hapus
  8. Sabar Pak Haji, itulah dunia. Mari kita lakukan aja apa yang bisa dan sanggup kita lakukan sepanjang sudah berusaha untuk mendekati kata ideal. 24 - 40 jam itu cuma rentang. Sesama guru jangan saling menekan. Lihat para dosen yang sebenarnya sama aja dengan guru yang bertugas di level PT, mereka santai aja. Rasionalisasi beban kerja mereka lebih tertata, membuat persiapan mengajar aja ada penghargaan ekuivalensi jam mengajar. Kalau kita guru SD-SMP-SMA/SMK apa dihargai? membuat persiapan, melakukan evaluasi dan membimbing siswa sebagai walikelas ? Itu yang harus diperjuangkan PGRI agar terwujud ekuivalensi yang berimbang dan mengakomodir semua tugas-tugas yang menyertai tugas 24 jam mengajar yang telah kita lakukan.

    BalasHapus
  9. Selamat berjuang kawan-kawan guru. Mari kita berdoa semoga dgn niatan yang tulus ikhlas semua apa yang telah kita lakukan berbuah amal dan kebajikan yang akan dibalas oleh Allah dengan sesuatu yang tidak kita sangka sangka. Suksessss

    BalasHapus
  10. ya.. begitulah nasib guru... apalagi yg sudah 22 tahun mengajar, apapun di upayakan untuk anak didik, tapi karena tidak linier... tugas mengajar orang bilang multi talen apapun diterimanya, alhasil dana sertifikasipun tak pernah di icipnya, karena aturan yg tidak linier... apalagi sekarang, tak kuasa dengan jam kerja 5 hari, walaupun ada kekhususan u yg belum mendapat sertifikasi profesi, tapi tak ada sedikitpun ..... toleransi jam kerja, pura2 ngak tau dg kebijakan itu, inilah nasib guru siapa yg peduli, mungkin banyak lagi... yang berjuang, akhirnya hanya allah yg tau, di dunia mungkin tertindas, mudah2an Allah memberi hidayah kelak... amin.

    BalasHapus
  11. assalamu'alaikum bapak ibu semua di kitab al-qur'an surah 41 di jelaskan yang intinya kebaikan untuk dirinya dan keburukan untuk dirinya sendiri. untuk guru sekarang telah bangkit dan dihargai oleh pemerintah yang sangat besar nilainya di banding dengan guru saya dulu jangankan untuk memiliki rumah menyekolahkan anak untuk makan saja susah dapat beras jatah yang banyak kutunya dst mari kita renungkan sejenak masa itu saya sendiri sempat 3 tahun merasakan. saya ikut prihatin jika ada guru yang masih tidak mau mengikuti ketentuan jam kerja dan tidak membuat perangkat mari kita do'akan semua semoga kita termasuk orang orang yang bersyukur

    BalasHapus
  12. terlepas dari gaji dan tunjangan guru juga manusia,murid juga manusia yang kemampuan raga manusia juga ada batasnya kadang setelah sampai dirumah rasa capai tidak tertahankan, saya tidak bisa bayangkan bagaimana dengan anak apa masih bisa mikir dijam-jam segitu trus jika sudah tidak bisa mikir trus apa makna pembelajaran yg dilakukan. Padahal tidak bisa dibayangkan jika negara ini tanpa pendidik. Waktu belum merdeka katanya harus berjuang, setelah merdeka untuk menghargai jerih payah guru masih harus dituntut begini begitu. Tapi barangkali yang salah guru juga kenapa ya pada mau begitu mungkin kalau guru pada tidak mau begitu, mungkin pemerintah akan mengimpor guru yang gajinya tentu jauh lebih mahal, karena gaji di negaranya juga lebih tinggi. Tapi yg paling harus dipikirkan adalah siswa yg menuntut ilmu karena setelah jam 1 siang siswa cenderung menyandarkan(baca;meletakan) kepala dimeja mungkin dalam hatinya berkata aduuuuh capainya, aduuuh nguantuknya.

    BalasHapus