Senin, 30 Mei 2011

Bahasa Daerah dan Pendidikan Karakter Bangsa*

Bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan yang hidup dan berkembang senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan itu sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap bahasa itu.
Pada era globalisasi ini, ada kecemasan dari para ahli bahasa, peneliti, pemerhati bahasa, guru dan dosen bahasa bahwa banyak bahasa daerah yang akan mengalami kepunahan atau terancam punah dalam waktu yang relatif cepat. Kecemasan tersebut patut mendapat perhatian karena hilangnya satu bahasa daerah merupakan suatu indikasi hilangnya satu kebudayaan dan peradaban dunia.
Menyikapi hal tersebut di atas itu  Krauss (dalam Alwi, 2000) membagi bahasa-bahasa alami yang masih digunakan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri atas bahasa-bahasa yang tidak lagi dikuasai sehingga bahasa itu, tidak dapat digunakan oleh generasi muda dari kelompok penutur bahasa yang bersangkutan (moribun). Kelompok kedua berhubungan dengan bahasa-bahasa yang terancam punah dalam arti bahwa satu atau generasi mendatang dari kelompok etnik yang bersangkutan tidak akan lagi menguasai dan menggunakan bahasa-bahasa tersebut (endangered). Kelompok ketiga berkenaan dengan bahasa-bahasa yang tergolong aman dalam arti tidak terancam oleh kepunahannya (safe).
Dari paparan di atas Krauss mencoba memberikan wacana tentang proses ketahanan  bahasa-bahasa. Sebuah bahasa daerah untuk tetap exist (bertahan), selain ditentukan oleh jumlah penutur, kekuatan dan potensi bahasa daerah juga ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor budaya atau tradisi tulis, faktor pemakaian dalam bidang pendidikan, dan faktor peranannya sebagai sarana pendukung kebudayaan.
Bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara? Adanya kecemasan bahwa bahasa daerah di Sulawesi Tenggara rawan punah, merupakan suatu realitas yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya. Apabila kita identifikasi kecemasan akan permasalahan tersebut terjadi karena beberapa hal yaitu 1) perkembangan/pemekaran suatu wilayah/daerah, 2) sikap penutur bahasa daerah (khussunya generasi muda) yang kurang positif terhadap bahasa daerahnya, 3) jumlah penutur bahasa daerah yang relatif kecil jumlahnya, 4) lingkungan sosial yang didiami oleh berbagai etnis, 5) adanya pernikahan campuran (beda suku), 6) tidak berkembangnya budaya tulis pada bahasa itu, dan 7) adanya anggapan bahwa bahasa darah kurang memiliki kegunaan praktis.
          Pada umumnya bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit (rawan punah) cenderung merupakan bahasa yang tidak mempunyia tulisan. Dengan demikian tradisi lisan yang berkembang pada bahasa-bahasa  ini jika tidak segera didokumentasikan, maka akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensinya.
          Memupuk sikap positif terhadap bahasa daerah juga sebuah modal dasar yang besar untuk melestarikan bahasa. Sayangnya, banyak generasi muda justru merasa malu ketika telah berada di luar daerahnya untuk memperkenalkan atau menggunakan bahasa itu.
          Ketahanan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara merupakan tanggung jawab kita bersama, baik pemerintah, pemerintah daerah, linguis, peneliti bahasa, dosen/guru bahasa, pencinta bahasa, termasuk peminat bahasa daerah Sulawesi Tenggara. Tanggung jawab dan kepedulian itu dapat ditunjukkan dalam berbagai wujud yang pada akhirnya berujung pada pelestarian, pengembangan, pembinaan, perlindungan dan pemberdayaan bahasa-bahasa daerah Sulawesi Tenggara.

Kecemasan akan ketahanan bahasa Daerah tidak perlu terjadi berlebihan, kalau saja kita mampu memahami kedudukan dan fungsi bahasa daerah itu. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa Daerah juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Menurut Hasan Alwi (Alwi, 2000) untuk mengetahui dan melihat kedudukan bahasa Daerah kita harus menggunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa Daerah sebagai sebagai sarana komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Kedua, bahasa Daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia.
Dari sudut pandang pertama maka fungsi bahasa Daerah memiliki lima fungsi, yaitu ;
a.    Bahasa Daerah sebagai lambang kebanggaan Daerah.
b.    Bahasa Daerah sebagai lambang identitas Daerah.
c.    Bahasa Daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat Daerah.
d.    Bahasa Daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan Daerah, dan
e.    Bahasa Daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra Daerah.
Apabila dilihat dari sudut pandang kedua, yaitu dari segi hubungan antara
bahasa Daerah dan bahasa Indonesia, maka ada empat fungsi yang diemban oleh
bahasa Daerah yaitu ;
a.   Bahasa Daerah sebagai pendukung bahasa nasional,
b.  Bahasa Daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar.
c.    Bahasa Daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa
Indonesia.
d.    Bahasa Daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam
penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Apabila kedudukan dan fungsi-fungsi tersebut dapat tersosialisasikan dan terpahami bukan hanya di kalangan pemerhati bahasa, tetapi juga di masyarakat pemakai bahasa maka keberadaan bahasa Daerah akan dapat terus dipertahankan.

Melihat kedudukan dan fungs-fungsi bahasa Daerah sebagaimana dikemukakan di atas, maka kedudukan bahasa bahasa Daerah melengkapi dan mendukung keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Jika bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan sarana pendukung tugas-tugas nasional, alat komunikasi nasional, wahana pemersatu bangsa, sarana pengembangan kebudayaan nasional dan IPTEK, maka keberadaan bahasa Daerah selain sebagai sarana komunikasi juga memiliki fungsi strategis dalam pengungkapan dan pengembangan budaya bangsa, serta pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang berakar pada nilai-nilai budaya dan keunggulan lokal.
Di era globalisasi ini  berbagai pengaruh dan budaya asing menyerbu bagai air bah tanpa terbedung melalui berbagai sarana komunikasi yang semakin canggih. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu masyarakat, makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme dan kecenderungan individualisme. Intensitas silaturrahmi antar anggota atau kelompok masyarakat semakin berkurang. Jika tidak ada filter dan daya tangkal yang tangguh maka tidak menutup kemungkinan budaya dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia kian hari kian pupus. Di sinilah bahasa daerah dapat memainkan peran strategisnya dalam upaya pencerdasan dan pembangunan budaya dan karakter bangsa,khususnya di daerah.
Bahasa daerah dapat menjadi sumber untuk menemukan kembali nilai-nilai moral yang semakin terkikis gaya hidup hedonis di era globalisasi.  Di dalam bahasa daerah kita dapat menemukan dua keunggulan, yaitu keunggulan internal dan keunggulan eksternal.  Keunggulan internal, merujuk pada kekayaan linguistik, misalnya kosa-kata yang luas untuk mengekspresikan suatu gagasan yang nyata atau abstrak. Keunggulan eksternal, yaitu keunggulan yang mengacu pada aspek-aspek di luar bahasa, seperti kekayaan budaya daerah serta kekuatan-kekuatan batiniah yang meliputi bahasa daerah itu.
Keberadaan bahasa daerah sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa dan pengembangan karakter dapat kita tinjau dari peranannya dalam kehidupan, yaitu ;
1.    Bahasa daerah menjadi sarana ekpresi batin yang lebih efektif.
Dengan menguasai dan menggunakan bahasa daerah kita bisa lebih mudah berkomunikasi dengan nilai, tradisi,etika, rasa dan batin para orangtua, sesepuh, pemuka adat yang dihasilkan dari pergulatan dan perjuangan mereka dalam menghadapi persoalan hidup. Hal ini merupakan pembelajaran berharga  yang dapat memperkaya pembentukan karakter individu dan masyarakat
2.    Bahasa daerah sebagai filter sosial dan budaya
Bahasa daerah dapat mengantar kita untuk dapat belajar tentang kesantunan,prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai keunggulan lokal yang telah ditanamkan para pendahulu kita yang masih relevan. Hal inilah yang akan mampu menjadi filter social dan budaya pengaruh idividualisme; liberalisme, dan kapitalisme di era globalisasi saat ini.
3.    Bahasa daerah sebagai “ruang berteduh
 Bahasa daerah mampu menjadi jejaring sosial yang menjadi ruang berteduh bagi masyakat modern dan urban. Di ruang berteduh tersebut anggota komunitas , dengan menggunakan bahasa bahasa daerah dengan orang sedaerah akan bisa mengendurkan saraf-saraf batin kita dari tekanan-tekanan hidup  publik yang teramat melelahkan di era globalisasi. Dengan bahasa daerah kita lebih mudah bicara tentang kebersamaan, gotong-royong, persoalan adat, atau masalah-masalah keluargaan.
4.    Bahasa daerah sebagai asset pariwisata budaya
Bahasa daerah dengan sastra daerahnya yang jumlahnya cukup banyak di Sulawesi Tenggara jika dilestarikan dan didokumentasikan dengan baik dapat menjadi asset pariwisata yang berharga. Berbagai ritual kegiatan dan acara-acara adat di Sulawesi Tenggara tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan bahasa daerah menjadi salah satu budaya yang memiliki nilai jual. Oleh karena itu dibutuhkan pewarisan dari generasi ke generasi agar tutur bahasa yang ada dalam adat-istiadat setiap etnik di Sulawesi Tenggara tidak punah ditelan zaman.

Dapatlah kita simpulkan bahwa bahasa daerah memiliki potensi yang besar dalam membangun daerah.  Bahasa daerah mampu memperkuat identitas daerah sebagai bagian jati diri bangsa dan memantapkan budaya daerah.  Budaya daerah yang kokoh akan mampu menangkal penetrasi budaya asing yang adakalanya tidak sesuai dengan karakter bangsa. Bahasa merupakan cerminan budaya. Aktualisasi bahasa daerah secara konsisten diharapkan mampu merevitalisasi dan reaktualisasi budaya yang muaranya adalah peningkatan kehidupan yang lebih bermartabat.

Tulisan ini ingin menegaskan kepada kita untuk menjadikan bahasa daerah menjadi sebuah sarana dan sumber belajar yang  sangat berarti. Bahasa daerah menjadi sarana pencerdasan bangsa, khususnya dalam pendidikan karakter bangsa. Bahasa daerah juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi budaya daerah. Kekuatan-kekuatan inilah yang dapat menjadi modal dasar dalam mengantisipasi pangaruh budaya global di era globalisasi. Dengan melestarikan bahasa daerah kita turut melestarikan budaya bangsa karena bahasa adalah roh dan akar kuat dari sebuah budaya.
Oleh karena itu sudah selayaknya, apabila bahasa daerah sebagai bahasa ibu (mother tongue) tidak terlupakan dan mulai diperkenalkan sedini mungkin pada anak-anak kita. Bahasa daerah juga perlu mendapat tempat dalam pembelajaran di sekolah ,disamping pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Hanya dengan kesadaran dan kepedulian kita, bahasa daerah dapat bertahan dan tumbuh kembang dengan baik untuk menjadi pilar-pilar khazanah kekayaan budaya Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar