Oleh:
AGUS
JATMIKO*
Ki
Hajar Dewantara,
adalah salah seorang tokoh pendidikan
yang jasa-jasanya senantiasa dikenang dan diperingati setiap tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau
menegaskan bahwa ada tiga komponen yang berperan dalam proses pendidikan, yaitu
keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Ketiga unsur ini memiliki peran
dan tanggungjawab yang sama dalam
proses pendidikan. Dalam perkembangan sistem pendidikan di
Indonesia,
kita juga mengenal 3 jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan
nonformal, dan pendidikan informal. Namun dalam kenyataannya pendidikan formal
(sekolah) yang selalu menjadi pemikul utama beban pendidikan. Pendidikan nonformal dan informal seakan hanya
melengkapi keberadaan pendidikan formal. Masyarakat
cenderung menyerahkan sepenuhnya keberhasilan pendidikan anak ke sekolah. Output sekolah menjadi
tolak ukur kualitas keberhasilan pendidikan.
BEBAN SEKOLAH
Sekolah
sebagai institusi pendidikan formal memiliki tugas dan beban yang berat.
Sekolah menjadi tumpuan perbaikan generasi bangsa di masa mendatang. Sekolah
menjadi garda terdepan sistem pendidikan di negeri ini. Beberapa contoh dapat
kita lihat saat ini,
misalnya ketika kejujuran mulai
menjadi barang langka di negeri ini maka kata “jujur”
mulai dikumandangkan dari sekolah. Munculah slogan “ kantin
kejujuran”, “UN: Prestasi Yes Jujur Harus” atau ‘Jujur itu
hebat”.
Contoh lainnya adalah ketika
bangsa ini mengalami krisis moral
dan jati diri, sekolah dianggap gagal membangun karakter kebangsaan pada siswa.
Munculah gagasan
penerapan Pendidikan Karakter Bangsa di sekolah. Begitu pula ketika banyak
orang tidak memahami dan melanggar aturan lalu lintas muncul pula gagasan untuk
menyisipkan pendidikan lalu lintas ke dalam kurikulum sekolah. Tak ketinggalan pula, ketika
semakin banyak korupsi di negeri ini
maka KPK pun ikut menggulirkan Pendidikan Anti Korupsi ke sekolah. Beragam materi pendidikan lain, seperti
Pendidikan Lingkungan Hidup, Pendidikan Gender, Pendidikan Antinarkoba dan
“pendidikan-pendidikan”lain menunggu untuk menyisip ke dalam kurikulum sekolah.
Ditambah
dengan beban 13 sampai 16 mata pelajaran pokok yang sudah ada dalam kurikulum standar, dapatlah
dibayangkan beban pendidikan yang harus dipikul sekolah dan dihadapi anak-anak
kita di sekolah untuk menjadi “manusia Indonesia seutuhnya”.
Beban
sekolah kita pun masih ditambah
dengan berbagai pelabelan dan pengkategorian sekolah yang artifisial semata.
Berbagai label menempel di sekolah-sekolah kita, seperti “Sekolah Standar
Nasional, “ Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional” “Sekolah Kategori Mandiri”
dan sebagainya. Pelabelan tadi menjadi semacam kasta-kasta yang berdampak pada
perbedaan tanggapan dan perlakuan
terhadap berbagai perangkat yang ada di sekolah. Padahal di sisi lain, setiap
anak bangsa ini berhak untuk mendapat perlakuan layanan pendidikan yang sama.
Bahkan
di beberapa
daerah di era otonomi saat ini,
sekolah kadang juga menjadi bagian dari simbol-simbol
kekuasaan. Sekolah harus memasang baliho suksesi penguasa yang dibungkus
sosialisasi program. Bahkan adakalanya warna dinding, atap, pagar, pakaian
olahraga pun harus seragam sewarna dengan simbol warna penguasa. Proses kreativitas
yang seharusnya berkembang di sekolah pun mati karena ketakutan terjadinya persinggungan dengan
simbol-simbol bahasa kekuasaan yang ada.
Kondisi di atas memberi gambaran bahwa sekolah
di Indonesia memiliki peran
dan tanggung jawab yang luar biasa. Sekolah menjadi
sebuah lembaga jasa, produk, dan sosial. Sebagai lembaga jasa sekolah memberi layanan pendidikan dan pengajaran
mengacu pada beragam standar yang ada. Sebagai lembaga penghasil produk dengan
mekanisme input – proses – output, sekolah tak ubahnya juga sebuah perusahaan
yang diharapkan dapat menghasilkan produk berkualitas. Produk yang berkualitas
hanya dapat dihasilkan dari sebuah proses yang bermutu.Sebagai lembaga sosial,
sekolah adalah sebuah komunitas yang di dalamnya mencakup banyak fungsi dan
peran di tengah masyarakat.
Siswa
yang berkualitas hanya dapat terwujud dalam sebuah komunitas pembelajaran yang
dibangun dan didukung dengan berbagai faktor yang berperan secara berkualitas
pula. Kesalahan atau ketidaksesuain fungsi dan peran akan berdampak pada budaya
dan sistem yang dikembangkan.
Oleh
karena itu, sudah saatnya seperti halnya sebuah lembaga, perusahan, atau BUMNnya
Pak Dahlan Ishkan,
sekolah pun perlu dikelola dengan sistem manajemen yang transparan, akuntabel dan mengedepankan budaya mutu. Sekolah
dengan manajemen yang bermutu akan mampu menghasilkan
produk berkualitas dan menjadi komunitas yang dapat memberi nilai tambah bagi perubahan
dan perbaikan pendidikan bangsa. Sistem manajemen yang baik, tentunya tidak
terlepas dengan kualitas top manajer yang ada di lembaga tersebut.
KEPALA
SEKOLAH SEBAGAI KEY PERSON
Untuk
mewujudkan sekolah yang bermutu maka kepala sekolah
sebagai top manajer di sekolah memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan
dalam pengelolaan sekolah. Sebagai guru yang diberi tugas tambahan maka kepala
sekolah dituntut harus mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai edukator , manajer, administrator,
supervisor, leader, inovator, dan motivator (EMASLIM). Sebuah beban tugas
yang tak ringan.
Dalam Permendiknas 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah ditegaskan bahwa seorang kepala sekolah dipersyarat
harus memiliki (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi manajerial, (3)
kompetensi kewirausahaan, (4) kompetensi supervisi dan (5) kompetensi
sosial. Kelima kompetensi inilah secara
ideal diharapkan dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Kompetensi kepribadian
terkait dengan akhlak mulia, integritas,sikap, motivasi, pengendalian diri,
serta bakat dan minat terhadap jabatan yang diemban. Kompetensi manajerial
mencakup kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengelola, dan mengembangkan berbagai
sumberdaya yang ada untuk memujudkan sebuah organisasi yang efektif. Kompetensi
kewirausahaan terkait dengan kemauan berinovasi, pantang menyerah, kerja keras dan semangat enterprenuership. Kompetensi supervisi mencakup kemampuan merencanakan,
melaksanakan dan menindaklanjuti hasil supervisi. Kompetensi sosial menyangkut kemampuan kepala sekolah berperan
kemampuan mengelola kerjasama, partispasi kemasyarakatan dan kepekaan sosial.
Kepala
sekolah sebagai top manajer memiliki peran yang sangat penting dalam penciptaan
iklim kerja dan mutu organisasi. Iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal
balik antara perilaku Kepala Sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok
(Paula F. Silver,1983). Ditegaskan pula tidak ada sekolah yang
baik tanpa kepala sekolah yang baik (De Roche & Sergiovan, 1987). Kepala
sekolah menjadi menjadi “key person” keberhasilan peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk mampu memerankan dirinya secara efektif dan efisien dapat memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya kualitas atau mutu sekolah.
REKRUTMEN
KEPALA SEKOLAH
Sebagai
garda depan pendidikan, sekolah harus
dinakhodai oleh seorang guru yang memang layak, cakap dan berdedikasi untuk
diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Menyikapi hal tersebut maka Pemerintah
mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang rekrutmen kepala sekolah, yaitu
dalam Permendikas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala
Sekolah. Dalam Permendiknas tersebut antara lain tentang pokok-pokok 1) persyaratan
dan rekrutmen kepala sekolah, 2) masa jabatan dan kinerja kepala sekolah, dan
3) pemberhentian kepala sekolah.
Dalam
hal perekrutan,
Permendiknas 28/2010 menegaskan bahwa
seorang guru dapat diusulkan menjadi calon
kepala sekolah akan diusulkan oleh Kepala Sekolah/Pengawas ke Dinas Kab/Kota
sepanjang memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1) memiliki kualifikasi akademik paling
rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D- IV) kependidikan atau nonkependidikan
perguruan tinggi yang terakreditasi,
2) tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang
dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 3) pengalaman mengajar
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah
masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak
luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahu, 4) memiliki
golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS), serta 5) memperoleh nilai
baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 tahun terakhir.
Apabila
syarat-syarat administrasi tersebut
dipenuhi maka selanjutnya calon kepala sekolah (cakep) mengikuti seleksi
akademik berupa penilaian kepemimpinan dan penguasaan awal kompetensi kepala
sekolah. Setelah lulus seleksi akademik akan dilanjutkan dengan Diklat Calon
Kepala Sekolah di lembaga yang ditunjuk dan terakreditasi minimal 100 jam
disertai praktek lapangan minimal 3 bulan. Jika lulus Diklat maka seorang
cakep akan diberi sertifikat kepala sekolah dan tercatat di database nasional
dan diberi nomor unik kepala sekolah
oleh menteri atau lembaga yang ditunjuk.
Ada
sebuah proses perekrutan yang harus dilalui sebelum Kepala Daerah atau pejabat
yang berwenang menerbitkan Surat Keputusan pengangkatan seorang kepala sekolah. Bukan
sekedar pelantikan dan pengangkatan dadakan
yang didasarkan hanya pada aspek
subjektivitas yang tidak akuntabel. Sekalipun, kewenangan mutasi dan
pengangkatan jabatan bagi PNS daerah menjadi kewenangan penuh Pemerintah
Daerah.
Jabatan Kepala sekolah bukanlah jabatan seumur hidup
atau seumur penguasa daerah berkuasa yang mengangkat kepala sekolah. Dalam
Permendiknas 28/2010 pasal 10 telah
diatur la tentang masa jabatan kepala sekolah. Dinyatakan
bahwa Kepala sekolah/madrasah diberi 1 (satu)
kali masa tugas selama 4 (empat) tahun. Masa tugas kepala sekolah/madrasah maksimal
di sebuah
sekolah hanya 2 kali masa jabatan. Itu pun,
jika yang bersangkutan
memiliki prestasi kerja minimal baik
berdasarkan penilaian kinerja yang dilakukan
oleh pengawas dan atasan langsung.
Jika
seorang kepala sekolah/madrasah telah menjabat 2 (dua) kali masa tugas
berturut-turut, masih dapat ditugaskan kembali menjadi kepala sekolah/madrasah,
dengan catatan telah melewati tenggang waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
masa tugas; atau memiliki prestasi yang istimewa di tingkat kabupaten/kota/
provinsi/nasional dan memiliki
nilai kinerja amat baik. Namun kepala sekolah bersangkutan akan ditempatkan di
sekolah yang memiliki nilai akreditasi lebih rendah dari sekolah sebelumnya
(bukan di sekolah yang lebih baik). Dengan harapan yang bersangkutan dapat
mulai bekerja memperbaiki sekolah barunya tersebut dengan berbagai pengalaman
yang dimilikinya.
Kepala
sekolah/madrasah yang dinilai berkinerja kurang, dikenakan hukuman disiplin,
diangkat pada jabatan lain,
atau
berhalangan tetap dapat diberhentikan dari penugasan. Kepala sekolah yang masa
tugasnya berakhir, tetap melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan jenjang
jabatannya dan berkewajiban melaksanakan proses pembelajaran atau bimbingan dan
konseling sesuai dengan ketentuan.
Sayangnya, tata aturan rekrutmen kepala sekolah di
atas hingga saat ini baru sebatas regulasi
konseptual. Namun mudah-mudahan dapat terwujud, tidak sekedar jadi mimpi indah di tengah carut-marutnya
pendidikan kita. Mengingat di era
otonomi daerah saat ini penunjukan jabatan kepala sekolah masih menjadi bagian
dari polarisasi politik kekuasaan di daerah. Di banyak daerah, penunjukan
kepala sekolah bukan didasarkan seleksi atau prestasi kerja tapi lebih
didasarkan pada “like or dislike” atau “orang kita, bukan orang kita” dan/atau
berbagai “titipan” sebagai balas jasa saat suksesi. Permendiknas 28/2010 atau
peraturan-perundangan pendidikan lainnya pun adakalanya menjadi sebuah regulasi
yang terabaikan dan terkalahkan oleh regulasi di tingkat daerah. Jika ini yang terus
terjadi maka pertanyaannya adalah“ mau dibawa kemana sekolah kita, mau jadi apa
pendidikan ini?”
Dengan momentum Hari Pendidikan 2 Mei tahun 2012,
saatnyalah bagi para pemegang kebijakan di daerah untuk lebih membuka akses dan
ruang untuk memperkuat regulasi pendidikan pemerintah pusat dengan regulasi
pemerintah daerah yang saling mendukung dan selaras. Hal ini diperlukan dalam
upaya memperbaiki mutu pengelolaan pendidikan di daerah, khususnya mutu sekolah
kita. Sebelum para guru berteriak agar kewenangan pengelolaan pendidikan di daerah
dikembalikan ke Pusat.
Sekolah adalah salah satu bahtera peradaban bangsa
yang sarat muatan di tengah lautan peradaban global, tentunya membutuhkan
nakhoda yang mumpuni dan teruji. Selamat
Hari Pendidikan.