A. Pendahuluan.
Penyelenggaraan pembelajaran, termasuk pembelajaran bahasa, sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan, merupakan usaha yang persiapan dan pelaksanaannya meliputi berbagai hal dan tahapan. Penyelenggaraan pembelajaran yang utuh di dalamnya mencakup pula penyelenggaraan evaluasi, penilaian, dan pemberian tes. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh berbagai data dan umpan balik tentang pencapaian pembelajaran yang telah diselenggarakan.
Pengertian evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assesment), sering tercampuraduk padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judment).
Penilaian (assesment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa? Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka).
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan bila seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Hasil pengukuran menjadi bahan untuk penilaian. Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Alat atau instrumen yang digunakan dalam penilaian dan pengukuran adalah tes.
Data informasi yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan siswa dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing. Data tersebut diperlukan sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Teknik penilaian yang digunakan harus disesuaikan dengan karakteristik indikator, standar kompetensi dasar dan kompetensi. Tidak menutup kemungkinan bahwa satu indikator dapat diukur dengan beberapa teknik penilaian, hal ini karena memuat domain kognitif, psikomotor dan afektif.
Salah satu alat yang digunakan dalam penilaian adalah tes. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas (Depdiknas, 2006). Tes diartikan sebagai alat, prosedur atau rangkaian kegiatan yang digunakan untuk memperoleh contoh tingkah laku seseorang yang memberikan gambaran tentang kemampuannya dalam suatu bidang ajaran tertentu.
Dalam pembelajaran bahasa, secara spesifik Lado (1975: 25) menegaskan bahwa penyusunan tes dalam pembelajaran bahasa mencakup dua variabel yang dapat diujikan, yaitu (1) unsur-unsur kebahasaan; dan (2) keterampilan berbahasa. Unsur-unsur kebahasaan yang dapat diujikan, antara lain pelafalan (pronounciation), struktur tata bahasa (grammatical structure), dan kosa kata (lexicon). Sedangkan keterampilan berbahasa meliputi kemampuan berbicara (skill of speaking), menyimak (listening), membaca (reading), dan menulis (writing).
Oleh karena itu, seorang guru bahasa harus dapat mengetahui penerapan berbagai macam tes agar tujuan dari tes yang akan diadakan mempunyai validitas yang tinggi. Penyusunan tes yang baik harus disesuaikan dengan tujuan pemberian tes, tahapan, dan kaidah-kaidah dalam penyusunan tes.
B. Tes sebagai Instrumen Penilaian
Penilaian proses dan hasil belajar bahasa siswa dapat dilakukan dengan teknik tes dan non tes. Teknik tes dapat berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja yang digunakan untuk mengukur proses dan hasil belajar aspek kognitif dan psikomotor. Teknik non tes dapat berupa observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, angket, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik, biasanya digunakan untuk aspek penilaian psikomotor dan afektif.
Sebagai instrmen penilaian ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes, yaitu:
a. Tes penempatan adalah tes yang diperlukan untuk menempatkan siswa dalam kelompok siswa sesuai dengan kemampuannya
b. Tes diagnostik adalah tes hasil belajar yang digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan, sebagai dasar perbaikan.
c. Tes formatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti proses belajar mengajar. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tes formatif ini dikenal sebagai Ulangan Harian, yang digunakan untuk mengukur pencapain ketuntasan tiap kompetensi dasar
d. Tes sumatif adalah tes yang digunakan untuk mengetahui penguasaan kompetensi siswa dalam satuan waktu tertentu seperti catur wulan atau semester. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tes formatif ini dikenal sebagai Ulangan Akhir Semester dan Ulangan Kenaikan kelas
Sedangkan berdasarkan bentuk pertanyaannya, tes dapat berbentuk objektif dan esay (Ekawati dan Sumaryanta, 2011: 11)
a. Tes objektif
Tes objektif adalah tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia dan peserta harus memilih salah satu alternatif yang disediakan tersebut. Terdapat beberapa bentuk tes objektif, yaitu 1) tes benar salah, 2) tes pilihan ganda, 3) tes asosiasi, 4) tes hubungan antar hal(memuat hubungan pernyataan dan alasan, 5) tes menjodohkan,
b. Tes esay
Tes esay adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari pertanyaan atau perintah yang menghendaki jawaban yang berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Tes ini dirancang untuk mengukur hasil belajar di mana unsur yang diperlukan untuk menjawab soal dicari, diciptakan dan disusun sendiri siswa. Siswa harus menyusun sendiri kata dan kalimat untuk menjawabannya. Tes esay diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, yiatu: uraian bebas (non objektif), uraian terstruktur (objektif), jawaban singkat, dan isian (melengkapi).
C. Prinsip-Prinsip dalam Pembuatan Tes
Weir ( 1993: 19) menjelaskan bahwa semua tes harus dibuat secara seksama sebelum dipakai. Ada dua prinsip yang harus diperhatikan dalam membuat tes bahasa, yaitu (1) Prinsip umum, dan (2) prinsip khusus.
1. Prinsip umum yang harus diperhatikan adalah test tersebut harus memiliki
a. kelayakan (appropriatenes),
berkaitan dengan 1) apakah tes dapat mengukur keluaran hasil belajar yang konsisten dengan tujuan, 2) apakah tujuan telah memiliki alat ukur sesuai,3)apakah butir soal per tujuan telah mencerminkan kadar pentingnya tujuan, dan 4) apakah semua butir soal telah mengacu pada tujuan tertentu.
b. kesahihan (validity),
merujuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur apa yang akan diukur. Misalnya, untuk mengukur kemampuan menyimak maka tes yang diberikan pun harus diperdengarkan bukan dalam bentuk bacaan. Tes yang sahih dapat membedakan siswa yang memang berkemampuan yang lebih baik dan sebaliknya.
c. keterpercayaan (reliability),
terkait apakah suatu tes mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu. Konsisten berarti, dengan kondisi prasyarat yang sama atau relatif sama 1) tes dapat memberikan hasil yang relatif tetap terhadap sesuatu yang diukur, 2) jawaban siswa terhadap butir-butir soal relatif tetap, 3) hasil tes jika diperiksa oleh siapa pun akan menghasilkan skor yang kurang lebih sama.
d. kepraktisan (practicality).
tes harus memiliki kepraktisan, dilihat dari segi keekonomisan, kemudahan pelaksanaan, kemudahan penskoran, dan kemudahan penafsiran.
2. Prinsip khusus. Menurut Murphy (1979 dalam Weir, 1993:22-27) sebagai sumber informasi, sejumlah prinsip khusus yang harus diperhatikan di dalam pembuatan tes adalah:
a. Kelayakan Tes
· Tingkat Kesukaran (Level of difficulty)
· Daya pembeda (Dicrimination)
· Contoh yang tepat (Appropriate sample)
· Tidak melampaui kemampuan yang diukur(Overlap)
· Kejelasan Tugas yang diharapkan (Clarity of task)
· Kesesuaian Pertanyaan dan Teks (Question and text)
· Alokasi Waktu yang tepat(Timing)
· Susunan dan format penyajian yang baik(Layout)
· Tidak menimbulkan prasangka/penafsiran ganda (Bias)
b. Kelayakan dalam Pemberian Nilai
· Respon yang berterima(Acceptable responses/variations)
· Tingkat subjektivitas dalam pembuatan tes
· Bobot Soal/tes
· Perhitungan Nilai
· Hindari Kesalahan dalam pengukuran
· Aksesibilitas/ Kejelasan dalam rencana pemberian nilai.
c. Standarisasi Pemberian Nilai.
· Kesepakatan Kriteria penilaian
· Ujicoba penilaian
· Review prosedur
· Tindak lanjut untu perbaikan
D. Tahapan dalam Pembuatan Tes
Pembuatan tes adalah suatu hal yang sangat vital dalam menentukan sesuatu yang akan diukur. Tanpa adanya tahapan-tahapan yang benar dalam penulisanya, tes yang dihasilkan sangatlah mungkin mempunyai mutu yang rendah ataupun tidak dapat dipakai sebagai alat pengukur kemampuan yang dimiliki siswa yang sesuai dengan yang diharapkan dalam kompetensi dasar yang ajarkan.
Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menyusun soal yang baik, antara lain:
1. Menentukan Tujuan Tes/soal
Langkah awal dalam mengembangkan instrumen tes adalah menetapkan tujuannya. Tujuan ini penting ditetapkan sebelum tes dikembangkan karena seperti apa dan bagaimana tes yang akan dikembangkan sangat bergantung untuk tujuan apa tes tersebut digunakan. Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan di lembaga pendidikan, yaitu : (a) tes penempatan, (b) tes diagnostik, (c) tes formatif, dan (d) tes sumatif (Thorndike & Hagen, 1977). Dalam pembelajaran bahasa penentuan tujuan juga mencakup penentuan aspek keteraampilan bahasa yang akan dinilai serta penentuan penguasaan unsur-unsur kebahasaan yang teritegrasi didalamnya. Tujuan tes dalam pembelajaran bahasa bukan sekedar mengukur penguasaan suatu materi tetapi lebih fokus mengacu pada penguasaan kompetensi berbahasa.
2. Melakukan analisis kurikulum
Analisis kurikulum dilakukan dengan cara melihat dan menelaah kembali kurikulum yang ada berkaitan dengan tujuan tes yang telah ditetapkan. Langkah ini dimaksudkan agar dalam proses pengembangan instrumen tes selalu mengacu pada kurikulum (SK- KD) yang sedang digunakan. Instrumen yang dikembangkan seharusnya sesuai dengan indikator pencapaian suatu KD yang terdapat dalam Standar Isi (SI). Dalam pembelajaran bahasa analisis ini dilakukan untuk memetakan tes sesuai keterampilan bahasa yang diujikan
3. Menyusun Kisi-Kisi
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal (meliputi SK-KD, materi, indikator, dan bentuk soal) yang akan dibuat. Dalam membuat kisi-kisi ini, kita juga harus menentukan bentuk tes yang akan kita berikan. Beberapa bentuk tes yang ada antara lain: pilihan ganda, jawaban singkat, menjodohkan, tes benar-salah, uraian obyektif, atau tes uraian non obyektif. Dalam pembelajaran bahasa dalam kaitannya dengan penilaian keterampilan berbahasa maka tes yang digunakan sebaiknya adalah tes uraian yang dapat menggambarkan tingkat kemampuan penguasaan kompetensi dan performansi berbahasa, termasuk di dalamnya penguasaa kaidah-kaidah kebahasaan. Selain itu, dalam tes pembelajaran bahasa perlu dibuat rubrik penilain untuk setiap kompetensi yang diujikan dalam tes
4. Penulisan Butir Soal
Pada kegiatan menuliskan butir soal ini, setiap butir soal yang ditulis harus berdasarkan pada indikator yang telah dituliskan pada kisi-kisi dan dituangkan dalam spesifikasi butir soal. Bentuk butir soal mengacu pada deskripsi umum dan deskripsi khusus yang sudah dirancang dalam spesifikasi butir soal. Untuk penulisan butir soal dalam pembelajaran bahasa, deskripsi pernyataan-pernyataan soal yang disajikan, sebaiknya tidak sekedar tentang teori kebahasaan tetapi lebih mengarah pada petikan wacana dan ilustrasi pragmatik konteks berbahasa. Penulisan soal juga harus memperhatikan kaidah bahasa, materi, dan konstruksi.
5. Melakukan telaah instrumen secara teoritis
Telaah instrumen tes secara teoritis atau kualitatif dilakukan untuk melihat kebenaran instrumen dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Telaah instrumen secara teoritis dapat dilakukan dengan cara meminta bantuan ahli/pakar, teman sejawat, maupun dapat dilakukan telaah sendiri. Setelah melakukan telaah ini kemudian dapat diketahui apakah secara teoritis instrumen layak atau tidak.
6. Uji Coba Soal Tes Termasuk Analisis Soal
Sebelum tes digunakan perlu dilakukan terlebih dahulu uji coba tes. Langkah ini diperlukan untuk memperoleh data empiris terhadap kualitas tes yang telah disusun. Ujicoba ini dapat dilakukan ke sebagian siswa, sehingga dari hasil ujicoba ini diperoleh data yang digunakan sebagai dasar analisis tentang reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, daya beda, dan lain-lain. Jika perangkat tes yang disusun belum memenuhi kualitas yang diharapkan, berdasarkan hasil ujicoba tersebut maka kemudian dilakukan revisi instrumen tes.
7. Merevisi Soal
Berdasarkan hasil analisis butir soal hasil ujicoba kemudian dilakukan perbaikan. Berbagai bagian tes yang masih kurang memenuhi standar kualitas yang diharapkan perlu diperbaiki sehingga diperoleh perangkat tes yang lebih baik. Untuk soal yangsudah baik tidak perlu lagi dibenahi, tetapi soal yang masuk kategori tidak bagus harus dibuang karena tidak memenuhi standar kualitas.
Setelah tersusun butir soal yang bagus, kemudian butir soal tersebut disusun kembali untuk menjadi perangkat instrumen tes, sehingga instrumen tes siap digunakan. Perangkat tes yang telah digunakan dapat dimasukkan ke dalam bank soal sehingga suatu saat nanti bisa digunakan lagi.
E. Tes dalam Pembelajaran Bahasa
Penilaian pembelajaran bahasa dapat dilaksankan melalui berbagai cara, yaitu tes tertulis (paper and pencil test), tes lisan, tes unjuk kerja (performance), kumpulan hasil kerja /karya/ siswa (portofolio), dan penilaian proyek
Tujuan evaluasi pengajaran Bahasa menurut Kosadi dkk.( 1994 :23) ialah sebagai berikut. (a) memperoleh data tentang tingkat kecepatan dan ketepatan siswa menyerap informasi yang disampaikan, (b) memperoleh data tentang taraf kemampuan dan keterampilan berbahasa dan bersastra setelah kegiatan belajar-mengajar, (c) mengukur keampuhan dan ketepatan program pengajaran yang dilaksanakan (d) memperoleh umpan balik (feed back) yang akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan perubahan dan perbaiakan pada program berikutnya, (e) memperoleh data yang akan digunakan sebagai pedoman pengelompokkan siswa sesuai dengan kemampuan dan keterampilan berbahasa, (f) menentukan taraf, bakat, minat, dan perhatian siswa terhadap pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (g) menentukan jurusan/program yang sesuai dengan bakat dan kemampuan siswa berbahasa Indonesia, (h) menentukan perlu tidaknya merencanakan dan melaksanakan pengajaran khusus/pengajaran ulang (remidial teaching), (i) merupakan data laporan kepada pihak terkait (orang tua misalnya) melalui buku rapor dan menentukan naik/tidaknya atau lulus/tidaknya siswa pada suatu program pendidikan.
Penilaian aspek-aspek kebahasaan, maupun apresiasi sastra sebaiknya tidak berdiri sendiri tetapi secara integratif dapat dikemas dalam tes keterampilan berbahasa. Misalnya penguasaan unsur ejaan, kosa kata, sintaksis, fonologi, dan morfologi dapat terintegrasi pada dalam tes menulis.
1. Tes Kemampuan Mendengarkan/Menyimak (Listening)
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa di sekolah, khususnya Bahasa Indonesia, pembelajaran dan penialian mendengarkan/menyimak, kurang mendapat perhatian sebagaimana halnya keterampilan berbahasa yang lain. Belum tentu semua guru bahasa secara khusus mengajarkan menyimak atau melakukan khusus penilaian mendengarkan/menyimak. kepada siswanya dalam satu periode tertentu.
Tes untuk kemampuan mendengarkan/menyimak, atau lebih tepatnya komprehensi lisan, bahan tes yang diujikan harus disampaikan secara lisan dan diterima siswa melalui sarana pendengaran. Masalah yang kerap muncul adalah sarana apa yang harus dipergunakan dan bagaimana cara menyampaikan penilaian yang efektif, perlukah kita mempergunakan media rekaman atau langsung disampaikan (dibacakan) lisan oleh guru sewaktu tes itu berlangsung.
Kemampuan menyimak diartikan sebagai kemampuan menangkap dan memahami bahasa lisan. Oleh karena itulah, bahan yang sesuai tentulah berupa wacana yang memuat sejumlah informasi. Baik wacana yang bersifat monolog ataupun dialog dapat digunakan untuk tes menyimak.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan bahan (wacana) yang digunakan untuk bahan tes menyimak, yaitu sebagai berikut: 1) tingkat kesulitan wacana, 2) isi cakupan wacana, dan 3) jenis-jenis wacana.
Tingkat kesulitan wacana terutama untuk tes dapat dilihat dari faktor kosa kata dan struktur kalimat yang dipergunakan. Jika kosakata yang dipergunakan sulit, bermakna ganda, dan abstrak, jarang dipergunakan, ditambah lagi struktur kalimatnya juga kompleks, wacana tersebut termasuk wacana yang tinggi tingkat kesulitannya, Akan tetapi, jika kedua aspek kebahasaan tersebut sederhana, wacana itu pun akan sederhana pula. Jika hanya salah satu aspek saja yang sulit baik kosakata maupun struktur, wacana yang bersangkutan masih tergolong agak sulit. Tingkat kesulitan wacana ini hendaknya disesuaikan dengan latarbelakang usia dan pengalaman keseharian siswa.
Isi dan cakupan wacana biasanya mempengaruhi tingkat kesulitan wacana. Jika isi dan cakupan itu sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa atau sesuai dengan bidang yang dipelajari, hal itu akan mempermudah wacana yang bersangkutan. Wacana yang diteskan hendaknya yang berisi hal-hal yang bersifat netral sehingga sangat memungkinkan adanya kesamaan pandangan terhadap isi masalah itu.
Untuk kepentingan kepraktisan dan alokasi waktu yang tersedia diperlukan pembatasan panjang wacana yang diteskan tetapi dari segi validitas tes itu tetap terpenuhi. Bentuk wacana yang sering dipergunakan dalam tes antara lain: (a) pertanyaan atau pernyataan singkat , (b) dialog, (c) ceramah/pidato, (d) pembacaan berita, dan (e) pembacaan sastra.
Berikut ini beberapa bentuk tes menyimak.
1) menuliskan kata baku yang disimakkan,
2) menuliskan kata yang mirip bunyi dan berbeda maknanya dalam kalimat. Contoh syarat – sarat,
3) memahami pernyataan atau pertanyaan,
4) mengemukakan kembali isi wacana, dan
4) menentukan pokok-pokok informasi
2. Tes Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara mempunyai banyak kesamaan dengan keterampilan menulis. Keduanya merupakan keterampilan produktif yang bersifat terpadu. Produktif, artinya pada waktu berbicara orang menggunakan bahasa untuk menghasilakan suatu (pembicaraan). Disebut terpadu artinya, pembicaraan itu terjadi karena penggabungan sejumlah kemampuan yang menjadi komponen keterampilan berbicara. Komponen-komponen keterampilan berbicara yaitu:
1) Penggunaan bahasa lisan, yang berfungsi sebagai media pembicaraan,
meliputi kosakata, struktur bahasa, lafal dan intonasi, ragam bahasa, dan kesantunan bahasa, keruntutan, dan sebagainya.
2) Penggunaan isi pembicaraan, yang tergantung pada apa yang menjadi topik pembicaraan.
3) Penguasaan teknik dan penampilan berbicara, yang disesuaikan dengan situasi dan jenis pembicaraan, seperti bercakap-cakap, berpidato, berceritera dan sebagainya. Penguasaan teknik dan penampilan ini penting sekali pada jenis-jenis berbicara formal, seperti berpidato, berceramah atau diskusi.
Pada umumnya, tes berbicara bukan hanya ujian lisan, melainkan juga ujian penampilan, yakni ujian lisan/perbuatan/penampilan lain. Ini berarti bahwa yang dinilai bukan hanya hasil tetapi perbuatan berbicara, yakni pembicaraan itu. Untuk itu, teknik ujian itu dibantu oleh teknik observasi (performance), pengujian mengamati (bukan hanya mendengar) bagaimana teruji (testee) berbicara. Ini berlaku pada ujian berbicara yang dilakukan secara langsung. (Nurgiantoro, 1988). Beberapa contoh bentuk tes berbicara dapat dilakukan melalui bentuk sebagai berikut:
1) berbicara berdasarkan rangsangan visual (gambar, laporan pandangan mata)
2) wawancara,
3) bercerita,
4) berpidato,
5) berdiskusi.
6) menceritakan secara lisan
7) mengemukakan saran,pendapat, sanggahan, dan
8)bermain peran
Aspek-aspek yang dinilai dari tes berbicara yang disajikan adalah kualitas hasil (quality of output) dan tingkat kemampuan penampilan (level of performance) (Weir, 1993:30). Penilaian tersebut mengacu secara umum pada aspek-aspek seperti; ketepatan pilihan kata / struktur kalimat, kefasihan /kelancaran, kejelasan dan kesesuaian isi,serta aspek-aspek pragmatik lainnya.
3. Tes Kemampuan Membaca
Jenis membaca yang sering digunakan dalam pengajaran Bahasa Indonesia yaitu tes kecepatan efektif membaca dan membaca pemahaman. Kecepatan efektif membaca (KEM) adalah kecepatan yang dicapai pembaca berdasarkan rumus banyaknya jumlah kata dibagi panjangnya waktu yang diperlukan dan perosentase skor yang diperoleh.
Kegiatan membaca merupakan aktivitas mental memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan. Jika dalam menyimak diperlukan pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa yang bersangkutan, dalam kegiatan membaca diperlukan pengetahuan tentang sistem penulisan, khususnya menyangkut huruf dan ejaan. Pada hakikatnya huruf atau tulisan hanyalah lambang bunyi bahasa tertentu. Oleh sebab itu, dalam kegiatan membaca kita harus mengenali, bahwa lambang tulis itu mewakili bunyi tertentu yang mengandung makna yang tertentu pula.
Tes membaca harus menyangkut kelancaran dan pemahaman sistem lambang bunyi dan pemahaman apa yang dibaca. Artinya, menilai membaca harus menyangkut proses membaca dan pemahaman. Penilaian yang berfokus pada proses (pada waktu siswa membaca) menyangkut hal-hal sebagai berikut.
a. Tingkah laku dalam membaca, misalnya : a) membaca kata demi kata, b) membaca cepat tanpa memperhatikan tanda baca, c) membaca menggunakan telunjuk, d) mengulang kata, frasa, atau baris, e) menggerakkan kepala waktu membaca, f) bergumam dalam membaca, g) menghindari yang dianggap sulit, h) tidak dapat duduk dengan tenang waktu membaca, i) menggunakan suara yang terlalu pelan waktu membaca nyaring, dsb
b. Kesulitan mengnalisis kata, misalnya : a) kata dan kebalikannya, b) huruf dan kebalikannya, c) sulit mengucapkan kata, d) salah mengucapkan huruf, e) sulit membedakan vokal, f) sulit mengingat kata, dan g) sulit membaca klaster.
c. Kesulitan pemahaman, dapat berupa : a) tidak dapat mengingat detail isi, b) tidak dapat mengurutkan isi bacaan, c) tidak dapat meramalkan akhir bacaan, d) sulit menceritakan kembali, e) sulit menyimpulkan yang dibacanya, e) sulit mengidentifikasi ide pokok, f) tidak dapat menjawab pertanyaan yang terkait dengan kata atau ide yang ada dalam teks, dan sulit mengikuti petunjuk dalam membaca.
Tes kecepatan membaca ini juga dapat diujikan dengan membaca skimming dan membaca scanning.
Tes membaca pemahaman, mengukur kemampuan siswa dalam memperoleh makna dari wacana tertulis/cetak. Komponen memahami isi bacaan ini terdiri atas pemahaman literal (mengenal dan mengingat) , pemahaman inferensial, pemahaman evaluatif, dan pemahaman apresiatif (Rofiudin, 1998). Penyusunan tes pemahaman dapat dilakukan dengan memberikan sebuah teks bacaan, kemudian sediakan pertanyaan bacaan 5-10 buah pertanyaan. Pertanyaan dapat mengacu pada pertanyaan literal, inferensial, evaluatif maupun pada apresiasi.
Tes membaca yang terkait dengan performansi berbahasa adalah membaca nyaring. Tes membaca nyaring pada kelas rendah dilakukan untuk mengetahui kelancaran dan kefasihan dalam membaca, sedangkan pada kelas tinggi diarahkan pada kelancaran, keindahan, dan ekspresi yang menyertai. Misalnya kegiatan membaca berita.
Teknik lain yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan membaca pemahaman ialah teknik klos. Teknik klos disusun dengan cara menghilangkan kata-kata dari suatu teks. Siswa harus mengisi bagian yang dikosongkan tersebut. Ada dua tes klos, yaitu tes klos yang disusun dengan cara menghilangkan kata-kata dalam bacaan dengan menggunakan kelipatan tertentu, misalnya kata ke-n. Kelipatan sekitar 5 sampai 15. Semakin kecil kelipatan yang digunakan, semakin sulit tes itu. Jika n = 5, maka setiap kata yang kelima dihilangkan. Tidak jadi masalah kata apa saja yang dihilangkan. Teknik klos yang lain ialah teknik klos yang menghilangkankata tertentu,misalnya kata benda, kata kerja, kata tugas, kata sifat atau gabungan dari beberapa kata tersebut. Jenis klos ini untuk mengetes kemampuan pemahaman siswa pada jenis kata tertentu.
Prosedur penyekoran tes klos dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ketepatan kata dan ketepatan konteks. Ketepatan kata merupakan teknik penyekoran yang didasarkan pada kata-kata yang dihilangkan. Jika jawaban siswa tidak cocok dengan kunci jawaban dianggap salah. Teknik ini penyekorannya sangat sederhana. Kriteria penafsiran hasil dari jawaban betul dibagi jawaban ideal kali seratus. Penafsirannya bila benar 58% ke atas termasuk kategori level lancar. Bila benar 44%-57% termasuk level cukup, bila benar kurang dari 43% termasuk kategori level frustasi.
Hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan tes membaca, baik membaca pemahaman maupun dengan teknik klose adalah kesuaian tingkat kerumitan hbahan bacaan. Kerumitan bahan bacaan harus disesuaikan dengan usia peserta didik dan latar belakang kehidupan siswa. Bila hasil penilain tes membaca yang diperoleh termasuk sebagian besar siswa masuk kategori level frustasi maka dapat dicurigai bahwa teks bacaaan yang disajikan terlalu tinggi tingkat kesukarannya atau sangat asing bagi siswa. Untuk itulah, sebelum menjadi bahan tes, sebuah bacaan sebaiknya diukur tingkat keterbacaan menggunakan kaidah-kaidah/teori-teori yang ada.
4. Tes Kemampuan Menulis
Pada mulanya kemampuan menulis merupakan kemampuan mengenal dan menuliskan lambang-lambang bunyi, menuliskan kata-kata dan melahirkan struktur kalimat. Tatapi, tahap demi tahap siswa diperkenalkan dan diuji cara menulis sebagai kemampuan yang komplit dan padu. Untuk menilai kemampuan menulis yang paling langsung tentulah dengan menyuruh siswa menulis, dalam arti kata bahwa kepada mereka diberikan tugas menulis sebuah karangan. Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam penyusunan tes pengajaran menulis adalah sebagai berikut.
(1) Kontrol ketatabahasaan mekanik penulisan (spelling dan pungtuasi) mencakup (a) cara penulisan huruf, (b) cara penulisan kata, (c) cara penulisan unsur serapan, (d) pemakaian tanda baca.
(2) Tingkat kesukaran tata bahasa dan kesesuaiannya dengan pembaca.
(3) Pengorganisasian dan pengembangan topik.
(4) Pemilihandan ketepatan kosa kota.
(5) Kepaduan teks/wacana secara menyeluruh.(Allisson, 1999:130)
Selain unsur yang sudah dijelaskan biasanya di sekolah dasar ditambah satu unsur yang umum, yaitu kerapian tulisan. Hal ini penting karena siswa sering menulis dengan keadaan kurang bersih, sering dihapus atau kertas tidak bersih.( Dadan,2008 :17)
Aktivitas menulis merupakan suatu bentuk menifestasi kemampuan berbahasa paling akhir dikuasai pembelajaran bahasa. Dibandingkan dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi karangan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi haruslah terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut dan padu. Jika dalam kegiatan berbicara orang harus menguasi lambang-lambang bunyi. Kegiatan menulis menghendaki orang untuk menguasai lambang atau simbol-simbol visual dan aturan tata tulis, khususnya yang menyangkut masalah ejaan.
Penilaian perkembangan kemampuan menulis siswa dapat dilakukan dengan menggunakan tes –tes berikut.
1) Tugas menulis/menyusun jenis paragraf tertentu
2) Menulis Berdasarkan rangsangan visual
(3) Menulis laporan kegiatan
(4) Menulis untuk surat untuk tujuan tertentu
(5) Menulis pengalaman sehari-hari
(6) Menulis untuk keperluan tertentu (menulis iklan/pengumuman)
(7) Menulis sastra (cerpen, puisi, drama)
(8) Memparafrasekan suatu wacana ke bentuk lain
Dalam pembuatan tes menyimak, berbicara, membaca, dan menulis sebaiknya dibuatkan rubrik penilain yang rinci. Pembuatan rubrik dapat mengurangi subjektifitas dalam penilaian. Selain itu dengan rubrik yang jelas, aspek-aspek yang akan diukur dari setiap kompetensi berbahasa yang diujikan dapat dinilai dengan jelas.
F. Penutup
Tes ialah himpunan pertanyaan yang harus dijawab, atau peryataan-pernyataan yang harus dipilih/ ditanggapi, atau tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (tester) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek (perilaku) tertentu dari orang yang dites. Ada dua prinsip yang harus diperhatikan dalam membuat tes bahasa, yaitu (1) Prinsip umum, yaitu kelayakan (appropriatenes), kesahihan (validity), keterpercayaan (reliability), kepraktisan (practicality); dan (2) prinsip khusus, yaitu meliputi kelayakan tes, kelayakan pemberian nilai, Standarisasi Pemberian Nilai.
Beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menyusun soal yang baik, antara lain (1) menentukan tujuan tes/soal, (2)melakukan analisis kurikulum, (3)menyusun kisi-kisi, (4)penulisan butir soal; (5) melakukan telaah instrumen secara teoritis; (6) uji coba soal tes termasuk analisis soal, (7) merevisi soal
Penyusunan tes dalam pembelajaran bahasa mencakup dua variabel yang dapat di ujikan, yaitu (1) unsur-unsur kebahasaan; dan (2) keterampilan berbahasa. Unsur-unsur kebahasaan yang dapat diujikan, antara lain pelafalan (pronounciation), struktur tata bahasa (grammatical structure), dan kosa kata (lexicon). Sedangkan keterampilan berbahasa meliputi kemampuan berbicara (skill of speaking), menyimak (listening), membaca (reading), dan menulis (writing). Sejalan dengan pembelajaran bahasa yang komunikatif dan integratif maka sebaiknya kaidah-kaidah dan unsur-unsur kebahasaan diujikan secara integratif dalam tes keterampilan berbahasa.
Daftar Rujukan
Allison, Desmond. 1999. Language Testing and Evaluation: An Introductory Course. Singapore: Singapore University Press.
Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Program Penilaian Kelas. Jakarta:
Depdiknas.
Djuanda, Dadan. 2008. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia di SD. Bandung: Pustaka Latifah.
Ekawati, Estina & Sumaryanta, 2011. Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran Matematika SD/SMP. Modul Matematika SD/SMP Program BERMUTU . Jakarta: Kemendiknas RI.
Hidayat, Kosadi. Dkk. 1994. Evaluasi dan Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa
Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Lado, Robert. 1975. Language Testing: The Construction and Use of Foreign Language Tests. London: Longman Group Limited
Nurgiantoro, B. 1988. Penilaian dalam Pengajaran bahasa dan Sastra Indoensia.
Yogyakarta: UGM Press.
Rofiudin, A. dan Zuhdi, D. 1998. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Jakarta: Depdikbud.
Thorndike, R.L. & Hagen E.P. 1977. Measurement and Evaluation in Psychology and Education. New York: John Willey & Sons
Weir, Cyril. 1993. Understanding and Developing Language Tests. Wilshire: Redwood Books.